MAKALAH
ETIKA
BISNIS TENTANG FRAUD
DISUSUN OLEH :
NAMA : ANI SUSANTI NIM : 216.01.0047
DOSEN PENGASUH :
H. SUTIMAN,SP., SE., M.Si
SEKOLAH
TINGGI ILMU EKONOMI MUSI RAWAS
(STIE-MURA)
2017
KATA PENGANTAR
السلام عليكم ورحمة الله وبركاتة
Dengan Meningkatkan puji syukur kepada Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat, taufiq, hidayah, serta inayah-Nya, sehingga saya
dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya tentang
“Sejarah Bank Indonesia”.
Saya menyadari banyaknya kelemahan dalam penulisan makalah
ini. Untuk itu, saya mengharap kritik dan saran dari berbagai pihak yang
bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini. Saya selalu berharap semoga
makalah ini dapat bermanfaat dan semoga segala usaha di Ridhoi Allah SWT. Amin.
والسلام
عليكم ورحمة الله وبركاتة
Lubuklinggau,
23 September 2017
Penyusun,
Ani Susanti
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...................................................................................................... i
Daftar Isi............................................................................................................... ii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.................................................................. 1
B.
Rumusan
Masalah............................................................................ 1
C.
Tujuan ............................................................................................ 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Profil Bank Indonesia ..................................................................... 3
B. Sejarah Bank Indonesia................................................................... 3
C. Logo Bank Indoesia......................................................................... 4
D. Badan Hukum.................................................................................. 5
E. Struktur Organisasi.......................................................................... 6
BAB
III. PEMBAHASAN
A. Perbankan Zaman Penjajahan Belanda............................................. 7
B. Perbankan Zaman Penjajahan Jepang............................................... 13
C. Perbankan Zaman Indonesia Merdeka.............................................. 15
BAB
IV. PENUTUP
A. Kesimpulan...................................................................................... 22
B. Saran ........................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 23
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kegiatan Lembaga
Keuangan, seperti pembiayaan dan perbankan diperkenalkan operasinya oleh Vereenigde
Oost-Indische Campagnie (VOC). VOC membawa sistem keuangan dan pembayaran
dalam usaha berdagang dan mencari keuntungan di bumi Nusantara ini, yang
selanjutnya mereka menjurus kearah penjajahan suatu bangsa dengan berbagai
variasi pelaksanaan kebijakan di bidang politik untuk mendukung tujuan
ekonomi-perdagangannya.
Konferensi
Meja Bundar (KMB) 1949 mengakhiri konflik Indonesia dan Belanda, ditetapkan
kemudian DJB sebagai bank Republik Indonesia Serikat (RIS). Status ini terus
bertahan hingga masa kembalinya RI dalam negara kesatuan. Maka sejak 1 Juli
1953 berubahlah DJB menjadi Bank Indonesia. Sejak keberadaan Bank Indonesia
sebagai bank sentral hingga tahun 1968, tugas pokok Bank Indonesia selain
menjaga stabilitas moneter, mengedarkan uang, dan mengembangkan sistem
perbankan, juga masih tetap melakukan beberapa fungsi sebagaimana dilakukan
oleh bank komersial.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana perbankan pada zaman
penjajahan Belanda ?
2. Bagaimana perbankan pada zaman
penjajahan Jepang ?
3. Bagaimana perbankan pada zaman
Indonesia merdeka ?
C.
Tujuan
1. Untuk mengetahui perbankan pada
zaman penjajahan Belanda
2. Untuk mengetahui perbankan pada
zaman penjajahan Jepang
3. Untuk mengetahui perbankan pada
zaman Indonesia merdeka
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Perbankan
zaman penjajahan Belanda
Kegiatan
lembaga keuangan, seperti pembiayaan dan perbankan diperkenalkan operasinya
oleh Vereenigde Oost-Indische Campagnie (VOC). VOC membawa sistem
keuangan dan pembayaran dalam usaha berdagang dan mencari keuntungan di bumi
Nusantara ini, yang selanjutnya mereka menjurus kearah penjajahan suatu bangsa
dengan berbagai variasi pelaksanaan kebijakan di bidang politik untuk mendukung
tujuan ekonomi-perdagangannya.
Perusahaan
yang pertama menjalankan fungsi sebagai bank di Indonesia, yaitu De
Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM) yang resminya adalah perusahaan
dagang. Dan yang benar-benar resmi untuk menjalankan usaha bank, yaitu NV De
Javasche Bank. Didirikan permulaan abad ke-19 terlihat dari materi Besluit
Nomor 28 tanggal 1 Desember 1827 mengenai Octrooi Reglement voor De Javasche
Bank. Modal pertama sebesar satu juta gulden yang tercantum dalam Besluit
Nomor 25 tanggal 24 Januari 1828. Modal tersebut berasal dari setoran
pemerintah Hindia Belanda dan De Nederlandsche Handel Maatschappij
(NHM).
Berdirinya
De Javasche Bank oleh pemerintah Hindia-Belanda, bank tersebut diberi
monopoli untuk mengeluarkan uang yang semula pengedarannya ditangani oleh
pemerintah sendiri. Sejak itu terkenal sebagai bank sirkulasi atau bank of
issue. Bank tersebut merupakan banker bagi pemerintah Hindia-Belanda
meskipun belum menjadi bank sentral penuh karena hanya menjalankan beberapa
tugas yang biasa dilakukan oleh bank sentral, yaitu mengeluarkan dan
mengedarkan uang kertas; mendiskonto wesel, surat utang jangka pendek, dan
obligasi negara, menjadi kasir pemerintah; menyimpan dan menguasai dana-dana
devisa; dan sebagai pusat kliring sejak tahun 1909. Sifat dualistis ini
menimbulkan berbagai kritik, dengan mengemukakan alasan-alasannya, antara lain:
a. Dengan bunga yang lebih rendah
daripada bank-bank lain maka De Javasche Bank dapat dengan mudah menarik
nasabah yang terbaik.
b. Persaingan oleh suatu badan (De
Javasche Bank) yang karena tugasnya dapat memiliki data bank-bank lain
sehingga dianggap tidak wajar.
Sekitar
tahun 1857 berdiri bank swasta yang
dikenal dengan NV Escompto Bank, yang bergerak dibidang usaha bank umum,
yang setelah dinasionalisasi oleh pemerintah maka sekarang dikenal sebagai Bank
Dagang Negara (BDN).
Tumbuhnya
dunia perbankan memberikan dampak positif bagi masyarakat dan hampir seluruh
orang di pedalaman Pulau Jawa telah mengenal uang sebagai alat pembayaran, baik
untuk membayar pajak maupun untuk transaksi jual beli sehingga mereka mamsuki
zaman “geldwirtschaft”. Mulai tumbuh juga adanya kebutuhan sebuah bentuk
perkreditan yang terorganisasikan dalam suatu lembaga. Mulai dibentuklah bank
yang khusus dapat melayani penduduk golongan pribumu, yaitu Bank Priyayi (De
Poerwokertosche Hulpen Spaarbank der Inlandsche Hoofden, artinya bank
penolong dan tabungan bagi priyayi Purwokerto). Didirikan tanggal 16 Desember
1895 oleh Patih Raden Wiriaatmadja, sedangkan modalnya dari kas masjid.
Adanya pendapat kontradiksi mengenal bunga yang ditarik dalam perkreditan bank,
maka mempengaruhi bentuk badan hukum tersebut. Atas saran Asisten Residen de
Wolff van Westerrode, maka bentuk oraganisasi yang cocok bagi bank yang
melayani masyarakat pedesaan adalah koperasi. Di Purwokerto pula tahun 1896
didirikan Poerwokertosche Hulp, Spaar en Landbouwcredietbank.
Pendirian
bank untuk masyarakat pribumu, kemudian bertambah dengan didirikannya “Volksbank”
di Garut pada tahun 1898, sedangkan di Bukittinggi dan Manado pada tahun 1899
yang oleh masyarakat Minang disebut lumbung putih. Tahun 1898 pemerintah
Hindia-Belanda bekerja sama dengan Jawatan Pos berdasarkan Stbl. 1897 Nomor 196
Oprichtingeener Postpaarbank in Nederlandch Indie mendirikan Bank
Tabungan Pos, sesuai Pasal 1 ayat (2)-nya didirikan di Jakarta. Dasar hukum
pendirian Bank Tabungan Pos ini mengalami perubahan pula pada tahun 1934
melalui Postpaarbank Ordonantie Stbl. 1934-653 dan selanjutnya diubah
berdasarkan Stbl. 1937-176 dan 197 serta Stbl. 1941-295.
Abad ke-20
berdiri bank-bank kabupaten (afdelingsbanken), ini karena ruang geraknya
menyangkut suatu daerah atau kabupaten. Bank ini diprakarsai oleh pamong praja
berdasar kewajiban pratikal pemerintah kabupaten atas penduduknya. Bupati
adalah ketua pengurus dan anggotanya terdiri dari pegawai pamongpraja dan orang
yang ikut merasakan nasib rakyat. Modal kerja bank diperoleh dari kelebihan
uang lumbung desa, bank desa, dan deposito dari pihak swasta, tetapi pemerintah
juga memberikan modal kerja. Bank kabupaten diperuntukkan guna melayani rakyat
yang membutuhkan pinjaman. Lembaga ini bentuk turut campur pemerintah Hindia
Belanda mengenai masalah perkreditan rakyat, untuk mengarahkan perkreditan
rakyat yang lebih sehat. Didirikan kas sentral dengan modal 5 juta gulden, yang
didasarkan pada Koninklijk Besluit tentang Instelling van eene
Centrale Kas voor het Volkscrediet wesen yang bertugas member modal kerja
pada lembaga perkreditan rakyat dan memberikan nasihat serta bimbingan dalam
usaha-usaha perkreditan rakyat.
Sistem perbankan pada hakekatnya
merupakan bagian dari sistem keuangan yang mempunyai cakupan luas yaitu lembaga
keuangan sebagai lembaga intermediasi, instrumen keuangan seperti saham,
obligasi, surat berharga pasar uang, treasury note, dan pasar sebagai tempat
perdagangan instrumen keuangan seperti bursa saham dan pasar uang antar bank.
Lembaga keuangan memberikan jasa intermediasi berupa jembatan antara surplus
unit dengan defisit unit dalam ekonomi, dan semua bank termasuk golongan ini.
Apabila ditinjau dari segi
kepemilikan, bank terbagi dalam kategori: bank pemerintah yang kepemilikan
seluruh modalnya dari pemerintah, dan menjadi kekayaan atau aset pemerintah
yang terpisah; Bank Pemerintah Daerah, yang seluruh atau sebagian besar
sahamnya dimiliki Pemerintah Daerah (Pemda) dan menjadi kekayaan Pemda yang
terpisah; bank swasta nasional dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan
hukum dengan pimpinan dan anggota yang berkewarganegaraan Indonesia; bank asing
sebagai cabang bank di luar negeri atau bank campuran (joint venture) antara
pihak luar negeri dan pihak swasta Indonesia. Patut diketahui, bahwa tidak
semua bank diperbolehkan melakukan transaksi dengan pihak luar negeri, kecuali
bank yang diberi ijin dan biasanya disebut bank devisa.
Krisis
ekonomi yang hebat periode 1929-1932 mengakibatkan beberapa volkbank menjadi
macet, tahun 1934 di Jakarta berdasar Ordonasi Nomor 82 tanggal 19 Februari
1934 didirikan De Algemeene Volkscrediet Bank yang berbadan hukum di
Eropa yang bertugas melikuidisi lembaga-lembaga keuangan. Modal pertama AVB
diperoleh dari modal kas sentral dan bank kabupaten berjumlah 21,4 juta gulden.
De
Javasche Bank pada
zaman Belanda merupakan bank yang bertindak sebagai bank sentral dan pada zaman
penjajahan Jepang bank tersebut dikuasai pemerintah Jepang. Setelah merdeka
bank tersebut kemudian beroperasi lagi bahkan selama beberapa tahun berfungsi
sebagai bank sentral meskipun berkedudukan sebagai badan usaha swasta dan
sebagian sahamnya ada di tangan asing. Mengingat hal-hal demikian maka
dilakukan nasionalisasi De Javasche Bank berdasarkan Undang-undang Nomor
24 Tahun 1951 tentang Nasionalisasi De Javasche Bank, undang-undang
tersebut disahkan tanggal 6 Desember 1951.
Panitia
Nasionalisasi terdiri dari Moh.Soediono sebagai anggota merangkap ketua,
Mr.Soetikno Slamet, Dr.Sumitro Djojohadikusumo, TRB Sabaruddin, Drs. Oudt dan
Drs.Khouw Bian Tie. Panitia tersebut mempunyai tugas untuk mengajukan usul-usul
mengenai langkah-langkah nasionalisasi, mengajukan rancangan undang-undang
nasionalisasi dan merancang undang-undang baru tentang bank sentral. Langkah
pertama yang dilakukan oleh panitia adalah melakukan penawaran terhadap
saham-saham DJB. Akhirnya pemerintah berhasil membeli 99,4% saham DJB di Bursa
Saham Belanda dengan harga 20% di atas nilai nominal (120%) dalam mata uang
Belanda atau kurs sebesar 230% dalam mata uang rupiah. Proses pembelian
berjalan lancer dengan harga nominal saham dan sertifikat seharga 8.95 Juta
Gulden. Selanjutnya, pada tanggal 15 Desember 1951 pemerintah mengundangkan
Nasionalisasi DJB melalui Undang-Undang No.24 Tahun 1951 tanggal 6 Desember
1951. Dengan nasionalisasi tersebut DJB telah resmi menjadi bank sirkulasi milik
Pemerintah Indonesia, bukan lagi milik swasta.
Namun,
proes nasionalisasi itu masih panjang. Rancangan Unddang-undang tentang
Pokok-pokok Bank Indonesia, sebagai Undang-undang organic bagi bank sentral
yang disusun berdasarkan amanat UUDS 1950, baru disampaikan ke Parlemen pada
September 1952, dan selesai dibahas serta disetujui pada 10 April 1953. Undang-undang itu kemudian disahkan oleh
Presiden tanggal 29 Mei 1953 dan dinyatakan mulai berlaku tanggal 1 juli 1953. Oleh
karena itu, tidak salah jika tanggal itu dijadikan hari terbentuknya Bank
Indonesia.
B.
Perbankan
Zaman Penjajahan Jepang
Selama
pendudukan Jepang dari tahun 1942-1945 semua bank asing termasuk De Javasche
Bank dikuasai oleh pemerintah Jepang. Tidak ada putra Indonesia yang
diikutsertakan, hanya satu yang beroperasi oleh putra Indonesia, yaitu Bank
Rakyat Indonesia (Algemeene Volkscrediet Bank) yang nama Jepangnya Syumin
Ginko. Masa pendudukan Jepang telah menghentikan kegiatan DJB dan perbankan
Hindia Belanda untuk sementara waktu. Kemudian masa revolusi tiba, Hindia
Belanda mengalami dualism kekuasaan, antara Republik Indonesia dan Nederlandsche
Indische Civil Administrative (NICA). Perbankanpun terbagi menjadi dua, DJB
dan bank-bank Belanda di wilayah NICA sedangkan “Jajasan Poesat Bank Indonesia”
dan Bank Negara Indonesia di wilayah RI. Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949
mengakhiri konflik Indonesia dan Belanda, ditetapkan kemudian DJB sebagai bank
Republik Indonesia Serikat (RIS). Status ini terus bertahan hingga masa
kembalinya RI dalam negara kesatuan. Maka sejak 1 Juli 1953 berubahlah DJB
menjadi Bank Indonesia.
Konferensi
Meja Bundar (KMB) yang berlangsung di Den Haag, Belanda tahun 1949, boleh
dikatakan merupakan tonggak sejarah lahirnya bank sentral di Indonesia. Salah
satu keputusan penting KMB adalah menunjuk De Javasche Bank NV sebagai
bank sentral. DJB adalah bank komersial dan sirkulasi milik pemerintah kolonial
Hindia Belanda yang sudah berdiri sejak tahun 1828. Sementara itu sejarah
mencatat pula bahwa sejak tahun 1946, Bank Negara Indonesia, bank pertama yang
didirikan oleh pemerintah RI, telah ditetapkan pula bank sentral. Namun dalam
KMB tersebut diputuskan pula bahwa Bank Negara Indonesia yang didirikan tahun
1946 diserahi tugas sebagai bank pembangunan.
Meskipun De
Javasche Bank disepakati dan diputuskan bersama oleh pemerintah Indonesia
dan pemerintah Belanda sebagai bank sentral, akan tetapi pengaruh kepentingan
colonial dalam menentukan kebijakan masih kental. Posisi De Javasche Bank lantas
menjadi dilematis karena suatu negara mempunyai bank sentral yang masih berada
di bawah pengaruh kepentingan lain.
Kesepakatan
terhadap penunjukan De Javasche Bank sebagai bank sentral antara
Pemerintah Belanda dengan Pemerintah Indonesia tidak terjadi begitu saja.
Selain alasan politis, alasan lain penunjukan itu adalah karena De Javasche
Bank telah beroperasi dan berfungsi sebagai bank sirkulasi di Indonesia
sejak tahun 1828. Dapat dikatakan bahwa De Javasche Bank merupakan bank
komersial yang sekaligus berfungsi sebagai bank sirkulasi tertua di Asia
Tenggara. Operasi bank ini berdasarkan Octrooi pertama yang diberikan
Pemerintah kepada De Javasche Bank tahun 1827. Bank ini merupakan bank
pertama yang menjalankan fungsi bank sentral, yaitu sebagai bank sirkulasi.
Pendirian De Javasche Bank pada dasarnya dimaksudkan oleh Pemerintah
Hindia Belanda sebagai perpanjangan tangan dari De Nederlandsche Bank guna
memperoleh tugas sebagai bank sirkulasi dan membiayai perusahaan-perusahaan
besar Belanda yang beroperasi di Hindia Belanda.
C.
Perbankan
Zaman Indonesia Merdeka
a.
Perbankan
Zaman Awal Kemerdekaan
Perkembangan
perbankan pada periode awakl kemerdekaan, yaitu mulai dari saat proklamasi
sampai terbentuknya bank sentral yang didirikan sebagai kelanjutan De
Javasche Bank melalui undang-undang Nomor 11 Tahun 1953 tentang Pokok-pokok
Bank Indonesia mulai tahun 1945-1953. Dunia perbankan diharapkan menjadi sarana
untuk kemakmuran rakyat sesuai dengan cita-cita dari Undang-undang Dasar 1945
sebagai Konstitusi Indonesia. Didirikan Bank Negara Indonesia berdasarkan
Peraturan Pemerintahan pengganti Undang-undang nomor 2 Tahun 1946 yang
ditetapkan tanggal 5 Juli 1946 ini banyak membantu kegiatan perjuangan nasional
dalam bidang perekonomian pada umumnya dan bidang moneter pada khususnya. Hal
ini sesuai dengan tujuan didirikannya bank tersebut, yang tercantum pada Pasal
1 Nomor 2 Tahun 1946.
Periode
ini diwarnai beberapa peristiwa politik yang secara otonomis mempengaruhi
kebijakan moneter pemerintah. Pada perkembangan perbankan periode ini belum
secara jelas terbentuknya sebuah bank sentral, maka dari itu dimuatlah
ketentuan mengenai bank sentral Pasal 110 Undang-undang Dasar RIS (UUDS 1949)
yang menyebutkan:
“Ada satu
bank sentral untuk Indonesia, penunjuk bank sentral dan mengenai susunan serta
wewenangnya dengan undang-undang”.
Namun,
sampai berakhirnya UUDS, belum didirikan bank sentral. Kebijakan yang cukup
berpengaruh dalam perkembangan perbankan pada awal kemerdekaan ini, yaitu
nasionalisasi De Javasche Bank. De Javasche Bank setelah
Indonesia merdeka beroperasi kembali, bahkan selama beberapa tahun berfungsi
lagi sebagai bank sental meskipun berkedudukan sebagai badan usaha swasta dan
sebagian sahamnya ada di tangan asing. Mengingat hal-hal demikian dilakukanlah
nasionalsasi De Javasche Bank melalui Undang-undang Nomor 24 Tahun 1951
tentang Nasionalisasi De Javasche Bank.
Pada tahun
1953 dengan pertimbangan guna lebih memberikan kemudahan menjalankan kebijakan
moneter dan kebijakan perekonomian maka ditetapkan Undang-undang Nomor 11 Tahun
1953 tentang Penetapan Undang-undang Pokok Bank Indonesia. Hal tersebut
dilakukan mengingat De Javasche Bank meskipun telah dinasionalisasi,
kedudukannya masih berbadan hukum sebagai perseroan terbatas. Jadi, masih belum
leluasa dalam menerapkan kebijakan moneternya.
b.
Perbankan
Zaman Pemerintahan Orde Lama
Zaman orde
lama bertitik tolak dari mulainya penetapan bank sentral tahun 1953. Dengan
demikian, tidak bertitik tolak secara ketat mengikuti periode perkembangan
pemerintahan yang sebenarnya berdasarkan politik dan ketatanegaraan.
Perkembangan perbankan zaman orde lama begitu kalut, sesuai dengan kekalutan
perekonomian saat itu. Ekspansi kredit perbankan yang didukung percetakan uang
kertas baru oleh Bank Indonesia telah menciptakan inflasi yang sangat tinggi
dengan segala akibat buruknya terhadap perekonomian nasional. Di lembaga
moneter sendiri terjadi begitu banyak manipulasi, ini terjadi karena sifat
dualisme bank sentral saat itu, yaitu sebagai bank sentral juga merangkap
sebagai bank komersial atau bank umum. Bank Indonesia giat pula dalam
memberikan perkreditan komersial berupa pemberian kredit langsung. Sifat itu
adalah warisan dari De Javasche Bank sebagai pelengkap Cultuurstelsels
Van Den Bos.
c.
Perbankan
Zaman Pemerintahan Orde Baru
Pemerintah
orde baru ingin konsisten menerapkan sistem anggaran berimbang dan lalu lintas
devisa bebas. Cara yang dilakukan salah satunya dengan memperkuat undang-undang
yang mengatur perbankan dengan membuat peraturan berupa UU Nomor 14 Tahun 1967
tentang Pokok-pokok Perbankan. Sedangkan penggantian peraturan yang lama UU
Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral guna menggantikan UU Nomor 11 tahun
1953 tentang Pokok-pokok Bank Indonesia.
Dengan
dikeluarkannya UU Nomor 11 Tahun 1953 tentang Pokok-pokok Bank Indonesia
sebagai pengganti Javasche Bank tahun 1922, maka terbentuklah suatu bank
sentral bagi Indonesia dengan nama “Bank Indonesia”. Walaupun berfungsi sebagai
bank sentral, namun BI masih diperkenankan malakukan kegiatan operasional
sebagai bank komersial. Sementara itu ditetapkannya UU Nomor 2/Drt/1995, tugas
Bank Negara Indonesia semula bertindak sebagai bank pembangunan diubah menjadi
bank umum, tugas dan usahanya memajukan kemakmuran rakyat dan pembangunan
perekonomian nasional dalam lapangan perdagangan, import, dan eksport.
Perubahan
mendasar baru terjadi setelah Pemerintah mengeluarkan penetapan Presiden Nomor
6 Tahun 1960 yang mengharuskan Bank Indonesia menyesuaikan tugas dan tata
kerjanya kepada Amanat Presiden tentang pembangunan Nasional Sementara
Berencana 1959. Pada masa-masa berikutnya, Bank Indonesia kemudian menjadi
“alat revolusi”, artinya bank sebagai “alat pemerintah”.
Sejalan
dengan perkembangan politik hukum kebanksentralan sebagaimana diamanatkan dalam
Ketetapan MPRS Nomor XIII/MPRS/1966, selain menyampaikan Rancangan UU
Pokok-pokok Perbankan, pemerintah juga menyampaikan Rancangan UU Bank
Sentraldalam kerangka penataan sistem perbankan berdasarkan UU Nomor 14 Tahun
1967 tentang Pokok-pokok Perbankan. Pengintegrasian bank-bank milik negara ke
dalam Bank Negara Indonesia berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 17 Tahun 1965
tersebut ditinjau kembali dan disesuaikan kembali seiring dengan dibentuknya
kembali Bank Indonesia sebagai bank sentral.
Sejak
keberadaan Bank Indonesia sebagai bank sentral hingga tahun 1968, tugas pokok
Bank Indonesia selain menjaga stabilitas moneter, mengedarkan uang, dan
mengembangkan sistem perbankan, juga masih tetap melakukan beberapa fungsi
sebagaimana dilakukan oleh bank komersial. Namun, tanggungjawab kebijakan
moneter berada di tangan pemerintah malalui pembentukan Dewan Moneter yang
tugasnya menentukan kebijakan moneter yang harus dilaksanakan oleh Bank
Indonesia. Selain itu, Dewan Moneter juga bertugas memberi petunjuk kepada
direksi Bank Indonesia dalam menjaga kestabilan nilai mata uang dan memajukan
perkembangan perkreditan dan perbankan.
Peran
ganda yang dilaksanakan Bank Indonesia mengakibatkan kurang sehatnya
perkembangan moneter bagi perekonomian, tahun 1968 dikeluarkannya UU Nomor 13
tahun 1968 tentang Bank Indonesia. Dalam UU tersebut, Bank Indonesia tidak lagi
memiliki peran ganda, karena beberapa fungsi yang dilakukan oleh bank komersial
dihapuskan. Namun demikian, misi Bank Indonesia sebagai agen pembangunan masih
melekat, demikian juga tugas-tugas sebagai kasir pemerintah dan banker’s
bank. Selain itu, Dewan Moneter sebagai lembaga pembuat kebijakan yang
berperan sebagai perumus kebijakan moneter masih dipertahankan.
Status dan
peranan Bank Indonesia berdasar UU Nomor 13
tahun 1968, disamping menjalankan tugas sebagai bank sentral, juga
menjalankan tugas sebagai bank pembangunan dinilai sudah tidak sesuai dengan
tuntutan perkembangan dan dinamika perekonomian nasional dan internasional,
yang menghendaki Bank Indonesia sebagai bank sentral hanya mempunyai satu
tujuan, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai
rupiah dan nilai tukar yang wajar merupakan sebagian dari prasyarat bagi
tercapainya pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Reorientasi sasaran Bank
Indonesia ini merupakan bagian dari kebijakan pemulihan dan reformasi
perekonomian. Kegagalan untuk memelihara kestabilan nilai rupiah seperti
tercermin pada kenaikan harga-harga dapat merugikan karena berakibat menurunkan
pendapatan riil masyarakat dan melemahkan daya asing perekonomian nasional
dalam kancah perekonomian dunia.
UU Nomor
11 Tahun 1953 maupun UU Nomor 13 tahun 1968 tidak memberikan independensi
terhadap Bank Indonesia. Akibatnya banyak kebijakan moneter dan perbankan yang
tidak jelas posisi tanggung jawabnya, apakah menjadi tanggung jawab Bank
Indonesia atau pemerintah. Dengan mengacu kepada Ketetapan MPR Nomor
X/MPR/1998, Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998, pada tanggal 17 Mei 1999
ditetapkan dan dibelakukan UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
sebagai pengganti UU Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral. UU Nomor 23
tahun 1999 memberikan status dan kedudukan kepada Bank Indonesia sebagai suatu
bank sentral yang indepeenden, bebas dari campur tangan pemerintah dan atau
pihak-pihak lainnya. Sebagai suatu otoritas mneter yang independen, Bank
Indonesia memiliki kewenangan dan tugas untuk menetapkan dan melaksanakan
kebijakan moneter yang telah ditetapkannya tanpa campur tangan pemerintah
maupun pihak-pihak lain di luar Bank Indonesia. Dalam kaitan ini, Bank
Indonesia wajib menolak dan atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari
pihak manapun dalam rangka pelaksanaan tugasnya.
Kemudian,
dalam rangka penataan kembali kelembagaan Bank Indonesia sebagai
penanggungjawab otoritas kebijakan moneter, dan dengan mengacu kepada ketentuan
dalam Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945, ditetapkan perubahan peertama
terhadap Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 melalui Undang-undang Nomor 3 Tahun
2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia. Penataan kelembagaan Bank Indonesia ini diperlukan untuk memperkuat
akuntabilitas, transparansi, dan kredibilitas Bank Indonesia tanpa mengurangi
makna independensi Bank Indonesia sebagai lembaga negara.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Bank
Indonesia lahir setelah berlakunya Undang-undang Pokok Bank Indonesiatanggal 1
Juli 1953. Sesuai UU tersebut, Bank Sental bertugas untuk mengawasi bank-bank.
Namun demikian, aturan pelaksanaan ketentuan pengawasan tersebut baru
ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 1955 yang menyatakan bahwa
BI, atas nama Dewan Moneter, melakukan pengawasan bank terhadap semua bank yang
beroperasi di Indonesia.
B.
Saran
Makalah
saya dengan judul Sejarah Bank Indonesia tentunya masih jauh dari kesempurnaan.
Untuk itu, saya mohon kepada Ibu dan teman-teman untuk memberi masukan,
kritikan yang bersifat membangun kepada saya demi lebih baiknya makalah kami.
Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Ghazali,
Djoni S.2012. Hukum Perbankan. Jakarta: Sinar Grafika.
Kamir.2008.
Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta: Rajawali Pers. 2011, Hukum
Perbankan Nasional Indonesia. Jakarta: Kencana.
Pdf.uu_bi_no0304
Pdf.uu bi
23 th 99
Pdf.
NOMOR13TAHUN1968
Pdf.
Perpu_2_Tahun_2008
Pdf.Sejarah
Perbankan Periode 1953-1959
Pdf.Sejarah
Perkembangan Bank Sentral di Nusantara
Pdf.Nusantara
sampai dengan Awal Abad ke- 19
e-journal.uajy.ac.id/1895/3/2KOM03055.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar