Rabu, 13 Desember 2017

makalah tentang etika bisnis



MAKALAH
ETIKA BISNIS TENTANG FRAUD


DISUSUN OLEH :
NAMA        : ANI SUSANTI NIM     : 216.01.0047


DOSEN PENGASUH :
H. SUTIMAN,SP., SE., M.Si



SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI MUSI RAWAS
(STIE-MURA)
2017
KATA PENGANTAR

السلام عليكم ورحمة الله وبركاتة

Dengan Meningkatkan puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, hidayah, serta inayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya tentang “Sejarah Bank Indonesia”.
Saya menyadari banyaknya kelemahan dalam penulisan makalah ini. Untuk itu, saya mengharap kritik dan saran dari berbagai pihak yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini. Saya selalu berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat dan semoga segala usaha di Ridhoi Allah SWT. Amin.

                                                      والسلام عليكم ورحمة الله وبركاتة

Lubuklinggau, 23 September 2017
Penyusun,

                                                                                               Ani Susanti




DAFTAR ISI

Kata Pengantar...................................................................................................... i
Daftar Isi............................................................................................................... ii
BAB I.  PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang Masalah.................................................................. 1
B.        Rumusan Masalah............................................................................ 1
C.         Tujuan ............................................................................................ 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A.      Profil Bank Indonesia ..................................................................... 3
B.       Sejarah Bank Indonesia................................................................... 3
C.       Logo Bank Indoesia......................................................................... 4
D.      Badan Hukum.................................................................................. 5
E.       Struktur Organisasi.......................................................................... 6
            BAB III. PEMBAHASAN
A.    Perbankan Zaman Penjajahan Belanda............................................. 7
B.     Perbankan Zaman Penjajahan Jepang............................................... 13
C.     Perbankan Zaman Indonesia Merdeka.............................................. 15
BAB IV. PENUTUP
A.    Kesimpulan...................................................................................... 22
B.     Saran ...........................................................................................      22
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 23
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kegiatan Lembaga Keuangan, seperti pembiayaan dan perbankan diperkenalkan operasinya oleh Vereenigde Oost-Indische Campagnie (VOC). VOC membawa sistem keuangan dan pembayaran dalam usaha berdagang dan mencari keuntungan di bumi Nusantara ini, yang selanjutnya mereka menjurus kearah penjajahan suatu bangsa dengan berbagai variasi pelaksanaan kebijakan di bidang politik untuk mendukung tujuan ekonomi-perdagangannya.
Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 mengakhiri konflik Indonesia dan Belanda, ditetapkan kemudian DJB sebagai bank Republik Indonesia Serikat (RIS). Status ini terus bertahan hingga masa kembalinya RI dalam negara kesatuan. Maka sejak 1 Juli 1953 berubahlah DJB menjadi Bank Indonesia. Sejak keberadaan Bank Indonesia sebagai bank sentral hingga tahun 1968, tugas pokok Bank Indonesia selain menjaga stabilitas moneter, mengedarkan uang, dan mengembangkan sistem perbankan, juga masih tetap melakukan beberapa fungsi sebagaimana dilakukan oleh bank komersial.

B.     Rumusan Masalah
1.       Bagaimana perbankan pada zaman penjajahan Belanda ?
2.       Bagaimana perbankan pada zaman penjajahan Jepang ?
3.       Bagaimana perbankan pada zaman Indonesia merdeka ?

C.    Tujuan
1.       Untuk mengetahui perbankan pada zaman penjajahan Belanda
2.       Untuk mengetahui perbankan pada zaman penjajahan Jepang
3.       Untuk mengetahui perbankan pada zaman Indonesia merdeka


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Perbankan zaman penjajahan Belanda
Kegiatan lembaga keuangan, seperti pembiayaan dan perbankan diperkenalkan operasinya oleh Vereenigde Oost-Indische Campagnie (VOC). VOC membawa sistem keuangan dan pembayaran dalam usaha berdagang dan mencari keuntungan di bumi Nusantara ini, yang selanjutnya mereka menjurus kearah penjajahan suatu bangsa dengan berbagai variasi pelaksanaan kebijakan di bidang politik untuk mendukung tujuan ekonomi-perdagangannya.
Perusahaan yang pertama menjalankan fungsi sebagai bank di Indonesia, yaitu De Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM) yang resminya adalah perusahaan dagang. Dan yang benar-benar resmi untuk menjalankan usaha bank, yaitu NV De Javasche Bank. Didirikan permulaan abad ke-19 terlihat dari materi Besluit Nomor 28 tanggal 1 Desember 1827 mengenai Octrooi Reglement voor De Javasche Bank. Modal pertama sebesar satu juta gulden yang tercantum dalam Besluit Nomor 25 tanggal 24 Januari 1828. Modal tersebut berasal dari setoran pemerintah Hindia Belanda dan De Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM).
Berdirinya De Javasche Bank oleh pemerintah Hindia-Belanda, bank tersebut diberi monopoli untuk mengeluarkan uang yang semula pengedarannya ditangani oleh pemerintah sendiri. Sejak itu terkenal sebagai bank sirkulasi atau bank of issue. Bank tersebut merupakan banker bagi pemerintah Hindia-Belanda meskipun belum menjadi bank sentral penuh karena hanya menjalankan beberapa tugas yang biasa dilakukan oleh bank sentral, yaitu mengeluarkan dan mengedarkan uang kertas; mendiskonto wesel, surat utang jangka pendek, dan obligasi negara, menjadi kasir pemerintah; menyimpan dan menguasai dana-dana devisa; dan sebagai pusat kliring sejak tahun 1909. Sifat dualistis ini menimbulkan berbagai kritik, dengan mengemukakan alasan-alasannya, antara lain:
a.       Dengan bunga yang lebih rendah daripada bank-bank lain maka De Javasche Bank dapat dengan mudah menarik nasabah yang terbaik.
b.      Persaingan oleh suatu badan (De Javasche Bank) yang karena tugasnya dapat memiliki data bank-bank lain sehingga dianggap tidak wajar.
Sekitar tahun 1857 berdiri bank swasta  yang dikenal dengan NV Escompto Bank, yang bergerak dibidang usaha bank umum, yang setelah dinasionalisasi oleh pemerintah maka sekarang dikenal sebagai Bank Dagang Negara (BDN).
Tumbuhnya dunia perbankan memberikan dampak positif bagi masyarakat dan hampir seluruh orang di pedalaman Pulau Jawa telah mengenal uang sebagai alat pembayaran, baik untuk membayar pajak maupun untuk transaksi jual beli sehingga mereka mamsuki zaman “geldwirtschaft”. Mulai tumbuh juga adanya kebutuhan sebuah bentuk perkreditan yang terorganisasikan dalam suatu lembaga. Mulai dibentuklah bank yang khusus dapat melayani penduduk golongan pribumu, yaitu Bank Priyayi (De Poerwokertosche Hulpen Spaarbank der Inlandsche Hoofden, artinya bank penolong dan tabungan bagi priyayi Purwokerto). Didirikan tanggal 16 Desember 1895 oleh Patih Raden Wiriaatmadja, sedangkan modalnya dari kas masjid. Adanya pendapat kontradiksi mengenal bunga yang ditarik dalam perkreditan bank, maka mempengaruhi bentuk badan hukum tersebut. Atas saran Asisten Residen de Wolff van Westerrode, maka bentuk oraganisasi yang cocok bagi bank yang melayani masyarakat pedesaan adalah koperasi. Di Purwokerto pula tahun 1896 didirikan Poerwokertosche Hulp, Spaar en Landbouwcredietbank.
Pendirian bank untuk masyarakat pribumu, kemudian bertambah dengan didirikannya “Volksbank” di Garut pada tahun 1898, sedangkan di Bukittinggi dan Manado pada tahun 1899 yang oleh masyarakat Minang disebut lumbung putih. Tahun 1898 pemerintah Hindia-Belanda bekerja sama dengan Jawatan Pos berdasarkan Stbl. 1897 Nomor 196 Oprichtingeener Postpaarbank in Nederlandch Indie mendirikan Bank Tabungan Pos, sesuai Pasal 1 ayat (2)-nya didirikan di Jakarta. Dasar hukum pendirian Bank Tabungan Pos ini mengalami perubahan pula pada tahun 1934 melalui Postpaarbank Ordonantie Stbl. 1934-653 dan selanjutnya diubah berdasarkan Stbl. 1937-176 dan 197 serta Stbl. 1941-295.
Abad ke-20 berdiri bank-bank kabupaten (afdelingsbanken), ini karena ruang geraknya menyangkut suatu daerah atau kabupaten. Bank ini diprakarsai oleh pamong praja berdasar kewajiban pratikal pemerintah kabupaten atas penduduknya. Bupati adalah ketua pengurus dan anggotanya terdiri dari pegawai pamongpraja dan orang yang ikut merasakan nasib rakyat. Modal kerja bank diperoleh dari kelebihan uang lumbung desa, bank desa, dan deposito dari pihak swasta, tetapi pemerintah juga memberikan modal kerja. Bank kabupaten diperuntukkan guna melayani rakyat yang membutuhkan pinjaman. Lembaga ini bentuk turut campur pemerintah Hindia Belanda mengenai masalah perkreditan rakyat, untuk mengarahkan perkreditan rakyat yang lebih sehat. Didirikan kas sentral dengan modal 5 juta gulden, yang didasarkan pada Koninklijk Besluit tentang Instelling van eene Centrale Kas voor het Volkscrediet wesen yang bertugas member modal kerja pada lembaga perkreditan rakyat dan memberikan nasihat serta bimbingan dalam usaha-usaha perkreditan rakyat.
Sistem perbankan pada hakekatnya merupakan bagian dari sistem keuangan yang mempunyai cakupan luas yaitu lembaga keuangan sebagai lembaga intermediasi, instrumen keuangan seperti saham, obligasi, surat berharga pasar uang, treasury note, dan pasar sebagai tempat perdagangan instrumen keuangan seperti bursa saham dan pasar uang antar bank. Lembaga keuangan memberikan jasa intermediasi berupa jembatan antara surplus unit dengan defisit unit dalam ekonomi, dan semua bank termasuk golongan ini.
Apabila ditinjau dari segi kepemilikan, bank terbagi dalam kategori: bank pemerintah yang kepemilikan seluruh modalnya dari pemerintah, dan menjadi kekayaan atau aset pemerintah yang terpisah; Bank Pemerintah Daerah, yang seluruh atau sebagian besar sahamnya dimiliki Pemerintah Daerah (Pemda) dan menjadi kekayaan Pemda yang terpisah; bank swasta nasional dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum dengan pimpinan dan anggota yang berkewarganegaraan Indonesia; bank asing sebagai cabang bank di luar negeri atau bank campuran (joint venture) antara pihak luar negeri dan pihak swasta Indonesia. Patut diketahui, bahwa tidak semua bank diperbolehkan melakukan transaksi dengan pihak luar negeri, kecuali bank yang diberi ijin dan biasanya disebut bank devisa.
Krisis ekonomi yang hebat periode 1929-1932 mengakibatkan beberapa volkbank menjadi macet, tahun 1934 di Jakarta berdasar Ordonasi Nomor 82 tanggal 19 Februari 1934 didirikan De Algemeene Volkscrediet Bank yang berbadan hukum di Eropa yang bertugas melikuidisi lembaga-lembaga keuangan. Modal pertama AVB diperoleh dari modal kas sentral dan bank kabupaten berjumlah 21,4 juta gulden.
De Javasche Bank pada zaman Belanda merupakan bank yang bertindak sebagai bank sentral dan pada zaman penjajahan Jepang bank tersebut dikuasai pemerintah Jepang. Setelah merdeka bank tersebut kemudian beroperasi lagi bahkan selama beberapa tahun berfungsi sebagai bank sentral meskipun berkedudukan sebagai badan usaha swasta dan sebagian sahamnya ada di tangan asing. Mengingat hal-hal demikian maka dilakukan nasionalisasi De Javasche Bank berdasarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 1951 tentang Nasionalisasi De Javasche Bank, undang-undang tersebut disahkan tanggal 6 Desember 1951.
Panitia Nasionalisasi terdiri dari Moh.Soediono sebagai anggota merangkap ketua, Mr.Soetikno Slamet, Dr.Sumitro Djojohadikusumo, TRB Sabaruddin, Drs. Oudt dan Drs.Khouw Bian Tie. Panitia tersebut mempunyai tugas untuk mengajukan usul-usul mengenai langkah-langkah nasionalisasi, mengajukan rancangan undang-undang nasionalisasi dan merancang undang-undang baru tentang bank sentral. Langkah pertama yang dilakukan oleh panitia adalah melakukan penawaran terhadap saham-saham DJB. Akhirnya pemerintah berhasil membeli 99,4% saham DJB di Bursa Saham Belanda dengan harga 20% di atas nilai nominal (120%) dalam mata uang Belanda atau kurs sebesar 230% dalam mata uang rupiah. Proses pembelian berjalan lancer dengan harga nominal saham dan sertifikat seharga 8.95 Juta Gulden. Selanjutnya, pada tanggal 15 Desember 1951 pemerintah mengundangkan Nasionalisasi DJB melalui Undang-Undang No.24 Tahun 1951 tanggal 6 Desember 1951. Dengan nasionalisasi tersebut DJB telah resmi menjadi bank sirkulasi milik Pemerintah Indonesia, bukan lagi milik swasta.
Namun, proes nasionalisasi itu masih panjang. Rancangan Unddang-undang tentang Pokok-pokok Bank Indonesia, sebagai Undang-undang organic bagi bank sentral yang disusun berdasarkan amanat UUDS 1950, baru disampaikan ke Parlemen pada September 1952, dan selesai dibahas serta disetujui pada 10 April 1953.  Undang-undang itu kemudian disahkan oleh Presiden tanggal 29 Mei 1953 dan dinyatakan mulai berlaku tanggal 1 juli 1953. Oleh karena itu, tidak salah jika tanggal itu dijadikan hari terbentuknya Bank Indonesia.

B.     Perbankan Zaman Penjajahan Jepang
Selama pendudukan Jepang dari tahun 1942-1945 semua bank asing termasuk De Javasche Bank dikuasai oleh pemerintah Jepang. Tidak ada putra Indonesia yang diikutsertakan, hanya satu yang beroperasi oleh putra Indonesia, yaitu Bank Rakyat Indonesia (Algemeene Volkscrediet Bank) yang nama Jepangnya Syumin Ginko. Masa pendudukan Jepang telah menghentikan kegiatan DJB dan perbankan Hindia Belanda untuk sementara waktu. Kemudian masa revolusi tiba, Hindia Belanda mengalami dualism kekuasaan, antara Republik Indonesia dan Nederlandsche Indische Civil Administrative (NICA). Perbankanpun terbagi menjadi dua, DJB dan bank-bank Belanda di wilayah NICA sedangkan “Jajasan Poesat Bank Indonesia” dan Bank Negara Indonesia di wilayah RI. Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 mengakhiri konflik Indonesia dan Belanda, ditetapkan kemudian DJB sebagai bank Republik Indonesia Serikat (RIS). Status ini terus bertahan hingga masa kembalinya RI dalam negara kesatuan. Maka sejak 1 Juli 1953 berubahlah DJB menjadi Bank Indonesia.
Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berlangsung di Den Haag, Belanda tahun 1949, boleh dikatakan merupakan tonggak sejarah lahirnya bank sentral di Indonesia. Salah satu keputusan penting KMB adalah menunjuk De Javasche Bank NV sebagai bank sentral. DJB adalah bank komersial dan sirkulasi milik pemerintah kolonial Hindia Belanda yang sudah berdiri sejak tahun 1828. Sementara itu sejarah mencatat pula bahwa sejak tahun 1946, Bank Negara Indonesia, bank pertama yang didirikan oleh pemerintah RI, telah ditetapkan pula bank sentral. Namun dalam KMB tersebut diputuskan pula bahwa Bank Negara Indonesia yang didirikan tahun 1946 diserahi tugas sebagai bank pembangunan.
Meskipun De Javasche Bank disepakati dan diputuskan bersama oleh pemerintah Indonesia dan pemerintah Belanda sebagai bank sentral, akan tetapi pengaruh kepentingan colonial dalam menentukan kebijakan masih kental. Posisi De Javasche Bank lantas menjadi dilematis karena suatu negara mempunyai bank sentral yang masih berada di bawah pengaruh kepentingan lain.
Kesepakatan terhadap penunjukan De Javasche Bank sebagai bank sentral antara Pemerintah Belanda dengan Pemerintah Indonesia tidak terjadi begitu saja. Selain alasan politis, alasan lain penunjukan itu adalah karena De Javasche Bank telah beroperasi dan berfungsi sebagai bank sirkulasi di Indonesia sejak tahun 1828. Dapat dikatakan bahwa De Javasche Bank merupakan bank komersial yang sekaligus berfungsi sebagai bank sirkulasi tertua di Asia Tenggara. Operasi bank ini berdasarkan Octrooi pertama yang diberikan Pemerintah kepada De Javasche Bank tahun 1827. Bank ini merupakan bank pertama yang menjalankan fungsi bank sentral, yaitu sebagai bank sirkulasi. Pendirian De Javasche Bank pada dasarnya dimaksudkan oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai perpanjangan tangan dari De Nederlandsche Bank guna memperoleh tugas sebagai bank sirkulasi dan membiayai perusahaan-perusahaan besar Belanda yang beroperasi di Hindia Belanda.

C.    Perbankan Zaman Indonesia Merdeka
a.       Perbankan Zaman Awal Kemerdekaan
Perkembangan perbankan pada periode awakl kemerdekaan, yaitu mulai dari saat proklamasi sampai terbentuknya bank sentral yang didirikan sebagai kelanjutan De Javasche Bank melalui undang-undang Nomor 11 Tahun 1953 tentang Pokok-pokok Bank Indonesia mulai tahun 1945-1953. Dunia perbankan diharapkan menjadi sarana untuk kemakmuran rakyat sesuai dengan cita-cita dari Undang-undang Dasar 1945 sebagai Konstitusi Indonesia. Didirikan Bank Negara Indonesia berdasarkan Peraturan Pemerintahan pengganti Undang-undang nomor 2 Tahun 1946 yang ditetapkan tanggal 5 Juli 1946 ini banyak membantu kegiatan perjuangan nasional dalam bidang perekonomian pada umumnya dan bidang moneter pada khususnya. Hal ini sesuai dengan tujuan didirikannya bank tersebut, yang tercantum pada Pasal 1 Nomor 2 Tahun 1946.
Periode ini diwarnai beberapa peristiwa politik yang secara otonomis mempengaruhi kebijakan moneter pemerintah. Pada perkembangan perbankan periode ini belum secara jelas terbentuknya sebuah bank sentral, maka dari itu dimuatlah ketentuan mengenai bank sentral Pasal 110 Undang-undang Dasar RIS (UUDS 1949) yang menyebutkan:
“Ada satu bank sentral untuk Indonesia, penunjuk bank sentral dan mengenai susunan serta wewenangnya dengan undang-undang”.
Namun, sampai berakhirnya UUDS, belum didirikan bank sentral. Kebijakan yang cukup berpengaruh dalam perkembangan perbankan pada awal kemerdekaan ini, yaitu nasionalisasi De Javasche Bank. De Javasche Bank setelah Indonesia merdeka beroperasi kembali, bahkan selama beberapa tahun berfungsi lagi sebagai bank sental meskipun berkedudukan sebagai badan usaha swasta dan sebagian sahamnya ada di tangan asing. Mengingat hal-hal demikian dilakukanlah nasionalsasi De Javasche Bank melalui Undang-undang Nomor 24 Tahun 1951 tentang Nasionalisasi De Javasche Bank.
Pada tahun 1953 dengan pertimbangan guna lebih memberikan kemudahan menjalankan kebijakan moneter dan kebijakan perekonomian maka ditetapkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1953 tentang Penetapan Undang-undang Pokok Bank Indonesia. Hal tersebut dilakukan mengingat De Javasche Bank meskipun telah dinasionalisasi, kedudukannya masih berbadan hukum sebagai perseroan terbatas. Jadi, masih belum leluasa dalam menerapkan kebijakan moneternya.
b.      Perbankan Zaman Pemerintahan Orde Lama
Zaman orde lama bertitik tolak dari mulainya penetapan bank sentral tahun 1953. Dengan demikian, tidak bertitik tolak secara ketat mengikuti periode perkembangan pemerintahan yang sebenarnya berdasarkan politik dan ketatanegaraan. Perkembangan perbankan zaman orde lama begitu kalut, sesuai dengan kekalutan perekonomian saat itu. Ekspansi kredit perbankan yang didukung percetakan uang kertas baru oleh Bank Indonesia telah menciptakan inflasi yang sangat tinggi dengan segala akibat buruknya terhadap perekonomian nasional. Di lembaga moneter sendiri terjadi begitu banyak manipulasi, ini terjadi karena sifat dualisme bank sentral saat itu, yaitu sebagai bank sentral juga merangkap sebagai bank komersial atau bank umum. Bank Indonesia giat pula dalam memberikan perkreditan komersial berupa pemberian kredit langsung. Sifat itu adalah warisan dari De Javasche Bank sebagai pelengkap Cultuurstelsels Van Den Bos.
c.       Perbankan Zaman Pemerintahan Orde Baru
Pemerintah orde baru ingin konsisten menerapkan sistem anggaran berimbang dan lalu lintas devisa bebas. Cara yang dilakukan salah satunya dengan memperkuat undang-undang yang mengatur perbankan dengan membuat peraturan berupa UU Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan. Sedangkan penggantian peraturan yang lama UU Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral guna menggantikan UU Nomor 11 tahun 1953 tentang Pokok-pokok Bank Indonesia.
Dengan dikeluarkannya UU Nomor 11 Tahun 1953 tentang Pokok-pokok Bank Indonesia sebagai pengganti Javasche Bank tahun 1922, maka terbentuklah suatu bank sentral bagi Indonesia dengan nama “Bank Indonesia”. Walaupun berfungsi sebagai bank sentral, namun BI masih diperkenankan malakukan kegiatan operasional sebagai bank komersial. Sementara itu ditetapkannya UU Nomor 2/Drt/1995, tugas Bank Negara Indonesia semula bertindak sebagai bank pembangunan diubah menjadi bank umum, tugas dan usahanya memajukan kemakmuran rakyat dan pembangunan perekonomian nasional dalam lapangan perdagangan, import, dan eksport.
Perubahan mendasar baru terjadi setelah Pemerintah mengeluarkan penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1960 yang mengharuskan Bank Indonesia menyesuaikan tugas dan tata kerjanya kepada Amanat Presiden tentang pembangunan Nasional Sementara Berencana 1959. Pada masa-masa berikutnya, Bank Indonesia kemudian menjadi “alat revolusi”, artinya bank sebagai “alat pemerintah”.
Sejalan dengan perkembangan politik hukum kebanksentralan sebagaimana diamanatkan dalam Ketetapan MPRS Nomor XIII/MPRS/1966, selain menyampaikan Rancangan UU Pokok-pokok Perbankan, pemerintah juga menyampaikan Rancangan UU Bank Sentraldalam kerangka penataan sistem perbankan berdasarkan UU Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan. Pengintegrasian bank-bank milik negara ke dalam Bank Negara Indonesia berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 17 Tahun 1965 tersebut ditinjau kembali dan disesuaikan kembali seiring dengan dibentuknya kembali Bank Indonesia sebagai bank sentral.
Sejak keberadaan Bank Indonesia sebagai bank sentral hingga tahun 1968, tugas pokok Bank Indonesia selain menjaga stabilitas moneter, mengedarkan uang, dan mengembangkan sistem perbankan, juga masih tetap melakukan beberapa fungsi sebagaimana dilakukan oleh bank komersial. Namun, tanggungjawab kebijakan moneter berada di tangan pemerintah malalui pembentukan Dewan Moneter yang tugasnya menentukan kebijakan moneter yang harus dilaksanakan oleh Bank Indonesia. Selain itu, Dewan Moneter juga bertugas memberi petunjuk kepada direksi Bank Indonesia dalam menjaga kestabilan nilai mata uang dan memajukan perkembangan perkreditan dan perbankan.
Peran ganda yang dilaksanakan Bank Indonesia mengakibatkan kurang sehatnya perkembangan moneter bagi perekonomian, tahun 1968 dikeluarkannya UU Nomor 13 tahun 1968 tentang Bank Indonesia. Dalam UU tersebut, Bank Indonesia tidak lagi memiliki peran ganda, karena beberapa fungsi yang dilakukan oleh bank komersial dihapuskan. Namun demikian, misi Bank Indonesia sebagai agen pembangunan masih melekat, demikian juga tugas-tugas sebagai kasir pemerintah dan banker’s bank. Selain itu, Dewan Moneter sebagai lembaga pembuat kebijakan yang berperan sebagai perumus kebijakan moneter masih dipertahankan.
Status dan peranan Bank Indonesia berdasar UU Nomor 13  tahun 1968, disamping menjalankan tugas sebagai bank sentral, juga menjalankan tugas sebagai bank pembangunan dinilai sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan dan dinamika perekonomian nasional dan internasional, yang menghendaki Bank Indonesia sebagai bank sentral hanya mempunyai satu tujuan, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah dan nilai tukar yang wajar merupakan sebagian dari prasyarat bagi tercapainya pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Reorientasi sasaran Bank Indonesia ini merupakan bagian dari kebijakan pemulihan dan reformasi perekonomian. Kegagalan untuk memelihara kestabilan nilai rupiah seperti tercermin pada kenaikan harga-harga dapat merugikan karena berakibat menurunkan pendapatan riil masyarakat dan melemahkan daya asing perekonomian nasional dalam kancah perekonomian dunia.
UU Nomor 11 Tahun 1953 maupun UU Nomor 13 tahun 1968 tidak memberikan independensi terhadap Bank Indonesia. Akibatnya banyak kebijakan moneter dan perbankan yang tidak jelas posisi tanggung jawabnya, apakah menjadi tanggung jawab Bank Indonesia atau pemerintah. Dengan mengacu kepada Ketetapan MPR Nomor X/MPR/1998, Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998, pada tanggal 17 Mei 1999 ditetapkan dan dibelakukan UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagai pengganti UU Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral. UU Nomor 23 tahun 1999 memberikan status dan kedudukan kepada Bank Indonesia sebagai suatu bank sentral yang indepeenden, bebas dari campur tangan pemerintah dan atau pihak-pihak lainnya. Sebagai suatu otoritas mneter yang independen, Bank Indonesia memiliki kewenangan dan tugas untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter yang telah ditetapkannya tanpa campur tangan pemerintah maupun pihak-pihak lain di luar Bank Indonesia. Dalam kaitan ini, Bank Indonesia wajib menolak dan atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak manapun dalam rangka pelaksanaan tugasnya.
Kemudian, dalam rangka penataan kembali kelembagaan Bank Indonesia sebagai penanggungjawab otoritas kebijakan moneter, dan dengan mengacu kepada ketentuan dalam Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945, ditetapkan perubahan peertama terhadap Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 melalui Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Penataan kelembagaan Bank Indonesia ini diperlukan untuk memperkuat akuntabilitas, transparansi, dan kredibilitas Bank Indonesia tanpa mengurangi makna independensi Bank Indonesia sebagai lembaga negara.
                       


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Bank Indonesia lahir setelah berlakunya Undang-undang Pokok Bank Indonesiatanggal 1 Juli 1953. Sesuai UU tersebut, Bank Sental bertugas untuk mengawasi bank-bank. Namun demikian, aturan pelaksanaan ketentuan pengawasan tersebut baru ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 1955 yang menyatakan bahwa BI, atas nama Dewan Moneter, melakukan pengawasan bank terhadap semua bank yang beroperasi di Indonesia.

B.     Saran
Makalah saya dengan judul Sejarah Bank Indonesia tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, saya mohon kepada Ibu dan teman-teman untuk memberi masukan, kritikan yang bersifat membangun kepada saya demi lebih baiknya makalah kami. Terima kasih.


DAFTAR PUSTAKA

Ghazali, Djoni S.2012. Hukum Perbankan. Jakarta: Sinar Grafika.
Kamir.2008. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta: Rajawali Pers. 2011, Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Jakarta: Kencana.
Pdf.uu_bi_no0304
Pdf.uu bi 23 th 99
Pdf. NOMOR13TAHUN1968
Pdf. Perpu_2_Tahun_2008
Pdf.Sejarah Perbankan Periode 1953-1959
Pdf.Sejarah Perkembangan Bank Sentral di Nusantara
Pdf.Nusantara sampai dengan Awal Abad ke- 19
e-journal.uajy.ac.id/1895/3/2KOM03055.pdf

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar