MAKALAH
KELANGKAAN
AIR BERSIH DI INDONESIA
DISUSUN OLEH :
NAMA :
ANI SUSANTI
NIM :
216.01.0047
DOSEN PENGASUH :
H. SUTIMAN,SP., SE., M.Si
SEKOLAH
TINGGI ILMU EKONOMI MUSI RAWAS
(STIE-MURA)
2017
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Air
merupakan unsur yang vital dalam kehidupan manusia. Seseorang tidak dapat
bertahan hidup tanpa air, karena itulah air merupakan salah satu penopang hidup
bagi manusia. Ketersediaan air di dunia ini begitu melimpah ruah, namun yang
dapat dikonsumsi oleh manusia untuk keperluan air minum sangatlah sedikit. Dari
total jumlah air yang ada, hanya lima persen saja yang tersedia sebagai air
minum, sedangkan sisanya adalah air laut. Selain itu, kecenderungan yang terjadi
sekarang ini adalah berkurangnya ketersediaan air bersih itu dari hari ke hari.
Semakin meningkatnya populasi, semakin besar pula kebutuhan akan air minum.
Sehingga ketersediaan air bersih pun semakin berkurang. Seperti yang
disampaikan Jacques Diouf, Direktur Jenderal Organisasi Pangan dan Pertanian
Dunia (FAO), saat ini penggunaan air di dunia naik dua kali lipat lebih
dibandingkan dengan seabad silam, namun ketersediaannya justru menurun.
Akibatnya, terjadi kelangkaan air yang harus ditanggung oleh lebih dari 40
persen penduduk bumi. Kondisi ini akan kian parah menjelang tahun 2025 karena
1,8 miliar orang akan tinggal di kawasan yang mengalami kelangkaan air secara
absolut. Kekurangan air telah berdampak negatif terhadap semua sektor, termasuk
kesehatan. Tanpa akses air minum yang higienis mengakibatkan 3.800 anak
meninggal tiap hari oleh penyakit. Begitu peliknya masalah ini sehingga para
ahli berpendapat bahwa pada suatu saat nanti, akan terjadi “pertarungan” untuk
memperbuatkan air bersih ini. Sama halnya dengan pertarungan untuk
memperebutkan sumber energi minyak dan gas bumi.
Disamping
bertambahnya populasi manusia, kerusakan lingkungan merupakan salah satu
penyebab berkurangnya sumber air bersih. Abrasi pantai menyebabkan rembesan air
laut ke daratan, yang pada akhirnya akan mengontaminasi sumber air bersih yang
ada di bawah permukaan tanah. Pembuangan sampah yang sembarang di sungai juga
menyebabkan air sungai menjadi kotor dan tidak sehat untuk digunakan. Di
Indonesia sendiri diperkirakan, 60 persen sungainya, terutama di Sumatera,
Jawa, Bali, dan Sulawesi, tercemar berbagai limbah, mulai dari bahan organik
hingga bakteri coliform dan fecal coli penyebab diare. Menurut data Departemen
Kesehatan tahun 2002 terjadi 5.789 kasus diare yang menyebabkan 94 orang
meninggal. Pembabatan hutan dan penebangan pohon yang mengurangi daya resap
tanah terhadap air turut serta pula dalam menambah berkurangnya asupan air
bersih ini. Selain itu pendistribusian air yang tidak merata juga ikut andil dalam permasalahan ini. Berkaitan dengan krisis air ini,
diramalkan 2025 nanti hampir dua pertiga penduduk dunia akan tinggal di
daerah-daerah yang mengalami kekurangan air. Ramalan itu dilansir World Water
Assesment Programme (WWAP), bentukan United Nation Educational, Scientific and
Cultural Organization (Unesco). Lembaga itu menegaskan bahwa krisis air didunia
akan memberi dampak yang mengenaskan. Tidak hanya membangkitkan epidemi
penyakit yang merenggut nyawa, tapi juga akan mengakibatkan bencana kelaparan.
B. Perumusan Masalah
Indonesia
merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber daya air dimana ketersediaan
air mencapai 15.500 meter kubik per kapita per tahun, masih jauh di atas
ketersediaan air rata-rata di dunia yang hanya 8.000 meter kubik per tahun.
Meskipun begitu, Indonesia masih saja mengalami kelangkaan air bersih. Sekitar
119 juta rakyat Indonesia belum memiliki akses terhadap air bersih. Adapun yang
memiliki akses, sebagian besar mendapatkan air bersih dari penyalur air, usaha
air secara komunitas serta sumur air dalam. Kondisi ini ironis mengingat
Indonesia termasuk kedalam 10 negara kaya sumber air tawar. Menurut laporan
Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Indonesia, ketersediaan air
di Pulau Jawa hanya 1.750 meter kubik per kapita per tahun pada tahun 2000, dan
akan terus menurun hingga 1.200 meter kubik per kapita per tahun pada tahun
2020. Padahal, standar kecukupan minimal 2.000 meter kubik per kapita per
tahun. Penyediaan air bersih bagi masyarakat erat kaitannya dengan
keluaran-keluaran kualitas pembangunan manusia, dan hubungannya dengan tingkat
kesehatan masyarakat, serta secara tidak langsung dampaknya dengan pertumbuhan
ekonomi. Namun,
yang menjadi kendala sekarang adalah pengelolaan sumber daya air yang buruk
yang mengakibatkan tidak meratanya penyebaran air. Hal ini tentu saja berdampak
pada kemampuan masyarakat miskin untuk menikmati pelayanan air bersih. Pada
kenyataannya sekarang masyarakat miskin tidak mempunyai akses terhadap air
bersih. Bahkan, masyarakat miskin harus membayar jauh lebih mahal guna
mendapatkan air bersih tersebut sehingga banyak dari mereka yang tidak sanggup
membayar, harus menggunakan air yang tidak bersih. Berbagai masalah yang
dihadapi dalam pengelolaan sumber daya air yang buruk ini antara lain yang menempatkan
Indonesia pada peringkat terendah dalam Millennium Development Goals (MDGs).
Laporan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) tentang MDGs Asia
Pasifik tahun 2006 menyebutkan, Indonesia berada dalam peringkat terbawah
bersama Banglades, Laos, Mongolia, Myanmar, Pakistan, Papua Niugini, dan
Filipina. Karena itu, mengingat pentingnya masalah krisis air bersih ini maka
harus segera dicari pemecahannya.
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini,
yaitu:
Ø Mengetahui dan memahami potensi
ketersediaan air di Indonesia.
Ø Mengetahui gambaran kelangkaan air di Indonesia.
Ø Mengetahui sebab-sebab terjadinya
krisis air di Indonesia.
Ø Mengetahui dampak yang ditimbulkan
dari krisis air di Indonesia.
Ø Mengetahui program yang dilaksanakan
pemerintah untuk mengatasi krisis air bersih.
D. Telaah Pustaka
Pada makalah ini, metode penulisan yang digunakan adalah
metode studi kepustakaan atau disebut juga telaah pustaka. Telaah pustaka ini
yaitu melakukan pengumpulan data dari beberapa referensi yang berkaitan dengan
krisis air yang terjadi di Indonesia yang dilakukan dengan cara penelusuran
teori-teori melalui buku, jurnal, artikel internet dan literatur lainnya.
E. Sistematika Penulisan
Untuk
memudahkan pembaca agar lebih mengerti penulisan makalah ini, maka makalah ini
dibagi ke dalam empat bab. Bab pertama merupakan pendahuluan yang menjelaskan
latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penulisan, metode
penulisan yang dilakukan, dan sistematika penulisan. Kemudian bab kedua yang
merupakan tinjuauan pustaka yang berisikan pengertian air, syarat-syarat air
bersih,potensi air di dunia, potensi air di Indonesia serta kebijakan pemerintah terkait
sumber daya air. Selanjutnya bab ketiga yang merupakan pembahasan dan berisikan
studi kasus, penyebab dan dampak krisis air bersih, kualitas air bersih saat
ini, realitas kebijakan pemerintah. Bab empat yang berisikan kesimpulan dan
saran dari kelompok.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Pengertian
Air dan Syarat-syarat Air Bersih
Dalam UU RI No.7 Tahun 2004 dan Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 907 Tahun 2002, disebutkan beberapa pengertian terkait dengan air, yaitu
sebagai berikut :
Sumber
daya air adalah air, dan daya air yang terkandung didalamnya.
Air adalah semua air yang terdapat pada diatas, ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan.
Air Bersih (clean water) adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hariyang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak.
Air adalah semua air yang terdapat pada diatas, ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan.
Air Bersih (clean water) adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hariyang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak.
Air Minum (drinking water) adalah air yang melalui proses
pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan
dapat langsung diminum.
Air permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan
tanah.
Air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
Air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
Sumber air adalah tempat atau wadah air alami dan/atau
buatan yang terdapat pada, diatas, ataupun di bawah permukaan tanah. Dalam referensi lain disebutkan
bahwa air adalah adalah zat kimia yang penting bagi semua bentuk kehidupan yang
diketahui sampai saat ini di bumi, tetapi tidak di planet lain. Air menutupi
hampir 71% permukaan bumi. Saat
ini kualitas air minum di kota-kota besar di Indonesia masih memprihatinkan.
Kepadatan penduduk, tata ruang yang salah dan tingginya eksploitasi sumber daya
air sangat berpengaruh pada kualitas air. Pemerintah telah mengeluarkan
Kepmenkes No 907/Menkes/SK/VII/2002 tentang Syarat dan Pengawasan Kualitas Air
Minum. Syarat air minum sesuai Permenkes yaitu harus bebas dari bahan-bahan
anorganik dan organik. Dengan kata lain kualitas air minum harus bebas bakteri,
zat kimia, racun, limbah berbahaya dan lain sebagainya. Parameter kualitas air minum yang
berhubungan langsung dengan kesehatan sesuai Permenkes tersebut adalah
berhubungan dengan mikrobiologi, seperti bakteri E.Coli dan total koliform.
Yang berhubungan dengan kimia organik berupa arsenik, flourida, kromium,
kadmium, nitrit, sianida dan selenium. Sedangkan parameter yang tidak langsung
berhubungan dengan kesehatan, antara lain berupa bau, warna, jumlah zat padat
terlarut (TDS), kekeruhan, rasa, dan suhu. Untuk parameter kimiawi berupa
aluminium, besi, khlorida, mangan, pH, seng, sulfat, tembaga.
Siklus Air, Air merupakan zat cair yang dinamis bergerak dan
mengalir melalui siklus hidrologi yang abadi. Siklus tersebut adalah pertama,
penguapan dari laut ke udara sebanyak 502.800 km3 dan penguapan dari daratan
sebanyak 74.200 km3 per tahun. Kemudian kedua, curah hujan (yang berasal dari
penguapan air dari laut dan darat , yang jatuh ke laut sebanyak 458.000 km3 dan
ke daratan 119.000 km3 per tahun. Ketiga, air daratan berjumlah 44.800 km3
terbagi menjadi 42.700 km3 mengalir di permukaan tanah dan 2,100 km3 mengalir
di dalam tanah selanjutnya semua berkumpul di laut.
Gambar Siklus Air
B.
Potensi
Air Di Dunia
Bumi
sebenarnya masih mempunyai banyak persediaan air tetapi hanya sedikit sekali
air yang layak dikonsumsi. Berdasarkan laporan World Commission On Water, dalam
20 tahun ini, air yang dibutuhkan untuk konsumsi dunia, baik air minum maupun
air untuk mengairi tanaman, sudah tak cukup lagi. Hanya 2,5 persen saja air di
dunia ini yang tidak mengandung garam. Dan dua pertiga dari jumlah itu terkubur
dalam gunung es dan glasier. (http://www.sinarharapan.co.id/index.html)
Di dunia secara garis
besara total volume air yang ada, air asin dan air tawar adalah 1.385.984.610
km3, terdiri atas (UNESCO, 1978 dalam Chow dkk, 1988 dalam Kodoatie dan
Sjarief, 2005): Air laut : 1.338.000.000 km3 atau 96,54% Lainnya (air tawar +
asin) : 47.984.610 km3 atau 3.46% Air asin di luar air laut : 12.995.400 km3
atau 0.93% Air tawar : 35.029.210 km3 atau 2.53%
C.
Potensi
Air di Indonesia
Menurut Ditjen Pengairan PU (1994), potensi air permukaan
Indonesia lebih kurang 1.789 milyar m3/tahun, dengan sebaran: Irian Jaya 1.401
milyar m3/tahun, Kalimantan 557 milyar m3/tahun dan Jawa 118 m3/tahun. Potensi
total air tanahnya 4,7 milyar m3/tahun, tersebar di 224 cekungan air.
Sebarannya: 1,172 milyar m3/tahun di Jawa-Madura (60 cekungan), 1milyar
m3/tahun di Sumatera (53 cekungan), 358 juta m3/tahun di Sulawesi (38
cekungan), Irian Jaya 217 juta m3/tahun (17 cekungan), Kalimantan 830 juta
m3/tahun (14 cekungan) dan sisanya 1,123 juta m3/tahun tersebar di beberapa
pulau (Link, 2000). Keseimbangan air (potensi dan kebutuhan) di Indonesia.
Dari bagan
diatas, dapat dilihat bahwa volume air di udara yang jatuh sebagai hujan cukup
berlimpah. Namun ketika hujan mencapai bumi yang menjadi aliran mantap hanya
25% hampir tiga perempat terbuang percuma ke laut. Ini menunjukkan bahwa sumber
daya air perlu dikelola dengan cara-cara yang benar. (Koedatie dan Sjarief,
2005)
D.
Kebijakan
Pemerintah Terkait Sumber Daya Air
Sumber daya air merupakan kebutuhan mutlak setiap individu
yang harus dipenuhi untuk kelangsungan hidupnya. Apabila terjadi pengurangan
kuantitas maupun kualitas sumber daya air maka akan mempengaruhi kehidupan
manusia secara bermakna. Untuk menjamin ketersediaan dan pengelolaan sumber
daya air ini, maka pemerintah sebagai pemangku tanggung jawab kesejahteraan
warga negaranya, berkewajiban menetapkan suatu kebijakan atau Undang-Undang
untuk mengatur sumber daya air. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
2004 merupakan salah satu Undang-Undang yang dibuat untuk mengaturnya. Secara
umum Undang-Undang tersebut terdiri atas delapan belas bab, yang sebagian besar
membahas tentang Ketentuan Umum, Wewenang dan Tanggung Jawab, Konservasi Sumber
Daya Air, Pendayagunaan Sumber Daya Air, dan
BAB III
PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Kelangkaan Air Bersih di Indonesia
Berdasarkan
data WHO (2000), diperkirakan terdapat lebih 2 milyar manusia per hari terkena
dampak kekurangan air di lebih dari 40 negara didunia. 1,1 milyar tidak
mendapatkan air yang memadai dan 2,4 milyar tidak mendapatkan sanitasi yang
layak. Sedangkan pada tahun 2050 diprediksikan bahwa 1 dari 4 orang akan
terkena dampak dari kekurangan air bersih (Gardner-Outlaw and Engelman, 1997
dalam UN, 2003).
Di
Indonesia sendiri, dengan jumlah penduduk mencapai lebih 200 juta, kebutuhan
air bersih menjadi semakin mendesak. Kecenderungan konsumsi air diperkirakan
terus naik hingga 15-35 persen per kapita per tahun. Sedangkan ketersediaan air
bersih cenderung melambat (berkurang) akibat kerusakan alam dan pencemaran. Sekitar 119 juta rakyat Indonesia
belum memiliki akses terhadap air bersih (Suara Pembaruan – 23 Maret 2007).
Penduduk Indonesia yang bisa mengakses air bersih untuk kebutuhan sehari-hari,
baru mencapai 20 persen dari total penduduk Indonesia. Itupun yang dominan
adalah akses untuk perkotaaan. Artinya masih ada 82 persen rakyat Indonesia
terpaksa mempergunakan air yang tak layak secara kesehatan. Untuk persentase
akses daerah pedesaan terhadap sumber air di Indonesia lebih rendah daripada
beberapa negara tetangga seperti Malaysia. Di Malaysia, tingkat akses sumber
air di pedesaan mencapai 94 persen. Di negara Indonesia yang kaya sumber daya
air ini, angka akses pedesaan terhadap air bersih hanya menyentuh level 69
persen, lebih rendah dari Vietnam yang telah mencapai 72 persen.
Pada akhir
PJP II (2019) diperkirakan jumlah penduduk perkotaan mencapai 150,2 juta jiwa
dengan konsumsi per kapita sebesar 125 liter, sehingga kebutuhan air akan
mencapai 18,775 miliar liter per hari. Menurut LIPI, kebutuhan air untuk
industri akan melonjak sebesar 700% pada 2025. Untuk perumahan naik rata-rata
65% dan untuk produksi pangan naik 100%.
Pada tahun 2000, untuk berbagai keperluan di Pulau Jawa diperlukan setidaknya 83,378 miliar meter kubik air bersih. Sedangkan potensi ketersediaan air, baik air tanah maupun air permukaan hanya 30,569 miliar meter kubik. Ia mengingatkan, pada tahun 2015 krisis air di Pulau Jawa akan jauh lebih parah karena diperkirakan kebutuhan air akan melonjak menjadi 164,671 miliar meter kubik. Sedangkan potensi ketersediaannya cenderung menurun. Di daerah perkotaan seperti Jakarta saja, masih banyak warga yang belum mendapatkan fasilitas air bersih. Jakarta dialiri 13 sungai, terletak di dataran rendah dan berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Seiring dengan pertumbuhan penduduk Jakarta yang sangat pesat, berkisar hampir 9 juta jiwa, maka penyediaan air bersih menjadi permasalahan yang rumit. Dengan asumsi tingkat konsumsi maksimal 175 liter per orang, dibutuhkan 1,5 juta meter kubik air dalam satu hari. Neraca Lingkungan Hidup Daerah Provinsi DKI Jakarta tahun 2003 menunjukkan, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) diperkirakan baru mampu menyuplai sekitar 52,13 persen kebutuhan air bersih untuk warga Jakarta. (Kompas, 20 Juni 2005).
Dibawah ini ada dua contoh kasus krisis air bersih di yang terjadi di perkotaan dan di pedesaan:
Pada tahun 2000, untuk berbagai keperluan di Pulau Jawa diperlukan setidaknya 83,378 miliar meter kubik air bersih. Sedangkan potensi ketersediaan air, baik air tanah maupun air permukaan hanya 30,569 miliar meter kubik. Ia mengingatkan, pada tahun 2015 krisis air di Pulau Jawa akan jauh lebih parah karena diperkirakan kebutuhan air akan melonjak menjadi 164,671 miliar meter kubik. Sedangkan potensi ketersediaannya cenderung menurun. Di daerah perkotaan seperti Jakarta saja, masih banyak warga yang belum mendapatkan fasilitas air bersih. Jakarta dialiri 13 sungai, terletak di dataran rendah dan berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Seiring dengan pertumbuhan penduduk Jakarta yang sangat pesat, berkisar hampir 9 juta jiwa, maka penyediaan air bersih menjadi permasalahan yang rumit. Dengan asumsi tingkat konsumsi maksimal 175 liter per orang, dibutuhkan 1,5 juta meter kubik air dalam satu hari. Neraca Lingkungan Hidup Daerah Provinsi DKI Jakarta tahun 2003 menunjukkan, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) diperkirakan baru mampu menyuplai sekitar 52,13 persen kebutuhan air bersih untuk warga Jakarta. (Kompas, 20 Juni 2005).
Dibawah ini ada dua contoh kasus krisis air bersih di yang terjadi di perkotaan dan di pedesaan:
Contoh Kasus Krisis Air Bersih di
Perkotaan Pertengahan Februari 2007, warga di kawasan Jakarta Utara mengeluhkan
kenaikan harga air yang gila-gilaan. Seperti dilaporkan sejumlah media, harga
air bersih di sebagian wilayah Jakarta Utara naik sampai lima kali lipat dari
harga sebelumnya. “Dulu harga per gerobak (isi 6 jeriken) hanya 10 ribu.
Sekarang naik jadi 50 ribu,” ujar Sukirman, warga RT 02 Kelurahan Rawa Badak
Jakata Utara. Kelangkaan dan kenaikan harga air gerobakan itu terjadi akibat
terputusnya aliran PAM.
Kelangkaan
air di sejumlah Kelurahan Jakarta Utara itu menimpa Rawa Badak, Sungai Bambu,
dan Kebon Bawang. “Saya mohon pemerintah memerhatikan masalah air bersih ini.
Kalau terlalu lama (air PAM) berhenti, warga tidak tahan. Kami sudah menderita
karena banjir, sekarang untuk mendapatkan air bersih saja susahnya setengah
mati,” ujar seorang ibu asal Flores di Kelurahan Rawa Badak. Contoh Kasus
Krisis air bersih di Pedesaan
Di Kampung Legok Pego di Desa Drawati, Kecamatan Paseh, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Warga disana kebanyakan menampung air hujan dari atap rumah ke dalam jeriken-jeriken plastik untuk dimanfaatkan pada musim kemarau.
Di Kampung Legok Pego di Desa Drawati, Kecamatan Paseh, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Warga disana kebanyakan menampung air hujan dari atap rumah ke dalam jeriken-jeriken plastik untuk dimanfaatkan pada musim kemarau.
Menurut
Kepala Dusun VI Desa Drawati Emen Suparman, kesulitan yang dihadapi warga
kampung Legok Pego bukan hanya kelangkaan air. Infrastruktur yang buruk
ditambah lokasi yang terpencil menyebabkan warga kesulitan mengakses sarana
pendidikan dan kesehatan. Kepala Dusun menambahkan, dulu ada sembilan mata air
yang terletak di perbukitan dan bisa mengalirkan air saat kemarau. Tapi
sekarang, mata air itu berhenti mengalir. Warga yang membutuhkan air bersih
harus berjalan kaki sejauh 3,5 kilo meter ke mata air terdekat. Sampai sekarang
dinas sosial Kabupaten Bandung masih mencari cara menolong warga desa Drawati.
Dua cuplikan peristiwa tadi menunjukkan kelangkaan air atau ancaman kelangkaan air di Indonesia memang betul-betul ada.
Dua cuplikan peristiwa tadi menunjukkan kelangkaan air atau ancaman kelangkaan air di Indonesia memang betul-betul ada.
B. Penyebab Kelangkaan Air Bersih
Sebab-sebab
Terjadinya Kelangkaan Air Bersih
Ø Perilaku
Manusia
Kodoatie dalam bukunya yang berjudul
Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu mengungkapkan bahwa faktor utama krisis air
adalah perilaku manusia guna mencukupi kebutuhan hidup yaitu perubahan tata
guna lahan untuk keperluan mencari nafkah dan tempat tinggal. Sebagian besar masyarakat Indonesia,
menyediakan air minum secara mandiri, tetapi tidak tersedia cukup informasi
tepat guna hal hal yang terkait dengan persoalan air, terutama tentang
konservasi dan pentingnya menggunakan air secara bijak. Masyarakat masih
menganggap air sebagai benda sosial. Masyarakat pada umumnya tidak memahami prinsip perlindungan
sumber air minum tingkat rumah tangga, maupun untuk skala lingkungan. Sedangkan
sumber air baku (sungai), difungsikan berbagai macam kegiatan sehari hari,
termasuk digunakan untuk mandi, cuci dan pembuangan kotoran/sampah. Sebagian
masyarakat masih menganggap bahwa air hanya urusan pemerintah atau PDAM saja,
sehingga tidak tergerak untuk mengatasi masalah air minum secara bersama. Populasi yang terus bertambah dan
sebaran penduduk yang tidak merata.
Pemanfaatan sumberdaya air bagi kebutuhan umat manusia
semakin hari semakin meningkat. Hal ini seirama dengan pesatnya pertumbuhan
penduduk di dunia, yang memberikan konsekuensi logis terhadap upaya-upaya
pemenuhan kebutuhan hidupnya. Disatu sisi kebutuhan akan sumberdaya air semakin
meningkat pesat dan disisi lain kerusakan dan pencemaran sumberdaya air semakin
meningkat pula sebagai implikasi industrialisasi dan pertumbuhan populasi yang
tidak disertai dengan penyebaran yang merata sehingga menyebabkan masih
tingginya jumlah orang yang belum terlayani fasilitas air bersih dan sanitasi
dasar.
Selain itu meningkatnya jumlah populasi juga berdampak pada
sanitasi yang buruk yang akan berpengaruh besar pada kualitas air. Sekitar 60
rumah di Jakarta memiliki sumur yang berjarak kurang dari 10 meter dari septic
tank. Jumlah septic tank di Jakarta lebih dari satu juta. Melimpahnya jumlah
septic tank yang terus bertambah tanpa ada regulasi yang baik mengakibatkan
pencemaran air tanah dan membahayakan jutaan penduduk.
Ø Penggundulan Hutan
Kerusakan lingkungan yang makin
parah akibat penggundulan hutan merupakan penyebab utama kekeringan dan
kelangkaan air bersih. Kawasan hutan yang selama ini menjadi daerah tangkapan
air (catchment area) telah rusak karena penebangan liar. Laju kerusakan di
semua wilayah sumber air semakin cepat, baik karena penggundulan di hulu maupun
pencemaran di sepanjang DAS. Kondisi itu akan mengancam fungsi dan potensi
wilayah sumber air sebagai penyedia air bersih.
Berdasarkan data di Departemen Kehutanan hingga tahun 2000 saja diketahui luas lahan kritis yang mengalami kerusakan parah di seluruh Indonesia mencapai 7.956.611 hektare (ha) untuk kawasan hutan dan 14.591.359 ha lahan di luar kawasan hutan. Sedangkan pada tahun yang sama rehabilitasi atau penanaman kembali yang dilakukan pemerintah hanya mampu menjangkau 12.952 ha kawasan hutan dan 326.973 ha di luar kawasan hutan.
Berdasarkan data di Departemen Kehutanan hingga tahun 2000 saja diketahui luas lahan kritis yang mengalami kerusakan parah di seluruh Indonesia mencapai 7.956.611 hektare (ha) untuk kawasan hutan dan 14.591.359 ha lahan di luar kawasan hutan. Sedangkan pada tahun yang sama rehabilitasi atau penanaman kembali yang dilakukan pemerintah hanya mampu menjangkau 12.952 ha kawasan hutan dan 326.973 ha di luar kawasan hutan.
Ø Global Warming
Pemanasan global telah memicu
peningkatan suhu bumi yang mengakibatkan melelehnya es di gunung dan kutub,
berkurangnya ketersediaan air, naiknya permukaan air laut dan dampak buruk
lainnya. Seiring dengan semakin panasnya permukaan bumi, tanah tempat di mana
air berada juga akan cepat mengalami penguapan untuk mempertahankan siklus
hidrologi. Air permukaan juga mengalami penguapan semakin cepat sedangkan balok-balok
salju yang dibutuhkan untuk pengisian kembali persediaan air tawar justru
semakin sedikit dan kecil. Ketika salju mencair tidak menurut musimnya yang
benar, maka yang terjadi bukanlah salju mencair dan mengisi air ke danau, salju
justru akan mengalami penguapan. Danau-danau itu sendiri akan menghadapi
masalahnya sendiri ketika airnya tidak lagi membeku. Air akan mengalami penguapan yang
jauh lebih lambat ketika permukaannya tertutup es, sehingga ada lebih banyak
air yang tersisa dan meresap ke dalam tanah. Ketika terjadi pembekuan yang
lebih sedikit, artinya semakin banyak air yang dilepaskan ke atmosfir. Maka,
ketika gletser yang tersisa dari zaman es mencair semua, sungai-sungai akan
kehilangan sumber air.
Pencemaran Air
Pencemaran Air
Saat ini pencemaran air sungai,
danau dan air bawah tanah meningkat dengan pesat. Sumber pencemaran yang sangat
besar berasal dari manusia, dengan jumlah 2 milyar ton sampah per hari, dan
diikuti kemudian dengan sektor industri dan perstisida dan penyuburan pada
pertanian (Unesco, 2003). Sehingga memunculkan prediksi bahwa separuh dari
populasi di dunia akan mengalami pencemaran sumber-sumber perairan dan juga
penyakit berkaitan dengannya.
Hilman Masnellyarti, Deputi Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup mengungkapkan bahwa kelangkaan air bersih disebabkan pula oleh pencemaran limbah di sungai. Diperkirakan, 60 persen sungai di Indonesia, terutama di Sumatera, Jawa, Bali, dan Sulawesi, tercemar berbagai limbah, mulai dari bahan organik hingga bakteri coliform dan fecal coli penyebab diare.
Sungai-sungai di Pulau Jawa umumnya berada pada kondisi memprihatinkan akibat pencemaran limbah industri dan limbah domestik. Padahal sebagian besar sungai itu merupakan sumber air bagi masyarakat, untuk keperluan mandi, cuci, serta sumber baku air minum olahan (PAM).
Hilman Masnellyarti, Deputi Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup mengungkapkan bahwa kelangkaan air bersih disebabkan pula oleh pencemaran limbah di sungai. Diperkirakan, 60 persen sungai di Indonesia, terutama di Sumatera, Jawa, Bali, dan Sulawesi, tercemar berbagai limbah, mulai dari bahan organik hingga bakteri coliform dan fecal coli penyebab diare.
Sungai-sungai di Pulau Jawa umumnya berada pada kondisi memprihatinkan akibat pencemaran limbah industri dan limbah domestik. Padahal sebagian besar sungai itu merupakan sumber air bagi masyarakat, untuk keperluan mandi, cuci, serta sumber baku air minum olahan (PAM).
Ø Manajemen Pengelolaan Air yang
Kurang Baik
Departemen Pekerjaan Umum
bertanggung jawab terhadap infrastruktur air, Departemen Dalam Negeri mengurusi
pentarifan air, Departemen Kehutanan bertanggung jawab terhadap konservasi
sumber daya air, sedangkan masalah kualitas air oleh Departemen Kesehatan.
Banyaknya institusi yang terlibat dan tumpang-tindihnya pengambilan kebijakan
tentang air oleh berbagai departemen yang ada ditambah lagi dengan kurangnya
koordinasi antara institusi tersebut menyebabkan kegagalan program pembangunan
Indonesia di sektor air. Anggaran
yang tidak mencukupi, menurut
Depkes, selama 30 tahun terakhir, anggaran yang dialokasikan untuk perbaikan
sanitasi (termasuk penyediaan air bersih) hanya sekitar 820 juta dolar AS atau
setara Rp 200 per orang per tahun. Padahal kebutuhannya mencapai Rp 470 per
rupiah per tahun. Versi Bank Pembangunan Asia perlu RP 50 triliun untuk
mencapai target MDGs 2015 dengan 72,5% penduduk akan terlayani oleh fasilitas
air bersih dan sanitasi dasar.
Dalam
APBN tahun 2008, anggaran untuk sanitasi itu hanya 1/214 dari anggaran subsidi
BBM. Dari anggaran tersebut terlihat pemerintah belum melihat anggaran untuk
perbaikan sanitasi sebagai investasi tetapi mereka melihatnya sebagai biaya.
Padahal menurut perhitungan WHO dan sejumlah lembaga lain setiap US$ 1
investasi di sanitasi dan air bersih akan memberikan manfaat ekonomi sebesar
US$ 8 dalam bentuk peningkatan produktivitas dan waktu, berkurangnya angka
kasus penyakit dan kematian.
Ø Buruknya Kinerja PAM/PDAM
Air minum perpipaan sebagai sistem
pelayanan air minum yang paling ideal hingga saat ini baru dapat dinikmati oleh
sebagian kecil masyarakat Indonesia. Secara nasional, cakupan air perpipaan
baru sekitar 17%, meliputi 32% di perkotaan dan 6,4% di perdesaan. Pada umumnya
PDAM secara rata rata nasional mempunyai kinerja yang belum memenuhi harapan.
Seperti tingkat pelayanan yang rendah (32%), kehilangan air tinggi (41%),
konsumsi air yang rendah (14 m3/bulan/RT).
Sebagian besar PDAM mengalami kendala dalam memberikan pelayanan yang baik akibat berbagai persoalan, baik aspek teknis (air baku, unit pengolah dan jaringan distribusi yang sudah tua, tingkat kebocoran, dan lain lain) maupun aspek non teknis (status kelembagaan PDAM, utang, sulitnya menarik investasi swasta, pengelolaan yang tidak berprinsip kepengusahaan, tarif tidak full cost recovery, dan lain lain).
Biaya produksi tergantung dari sumber air baku yang digunakan oleh PDAM. Namun secara umum biaya produksi untuk sernua jenis air baku ternyata lebih tinggi daripada tarif. PDAM yang menggunakan mata air sebagai sumber air baku, biaya produksi rata rata Rp 787/m3, sedangkan tarif rata-rata Rp 61 8/m3. PDAM yang menggunakan mata air, sumur dalam dan sungai sekaligus, biaya produksi rata rata Rp 1.188/m3 , dan tarif rata rata Rp 1.112/m3. Sedangkan PDAM yang mengandalkan sungai sebagai sumber air baku, biaya produksi rata rata Rp 1.665/m3 , dan tarif rata rata Rp 1.175/m3.
Sebagian besar PDAM mengalami kendala dalam memberikan pelayanan yang baik akibat berbagai persoalan, baik aspek teknis (air baku, unit pengolah dan jaringan distribusi yang sudah tua, tingkat kebocoran, dan lain lain) maupun aspek non teknis (status kelembagaan PDAM, utang, sulitnya menarik investasi swasta, pengelolaan yang tidak berprinsip kepengusahaan, tarif tidak full cost recovery, dan lain lain).
Biaya produksi tergantung dari sumber air baku yang digunakan oleh PDAM. Namun secara umum biaya produksi untuk sernua jenis air baku ternyata lebih tinggi daripada tarif. PDAM yang menggunakan mata air sebagai sumber air baku, biaya produksi rata rata Rp 787/m3, sedangkan tarif rata-rata Rp 61 8/m3. PDAM yang menggunakan mata air, sumur dalam dan sungai sekaligus, biaya produksi rata rata Rp 1.188/m3 , dan tarif rata rata Rp 1.112/m3. Sedangkan PDAM yang mengandalkan sungai sebagai sumber air baku, biaya produksi rata rata Rp 1.665/m3 , dan tarif rata rata Rp 1.175/m3.
PDAM belum mandiri karena campur
tangan pemilik (Pemda) dalam manajemen dan keuangan, cukup membebani PDAM.
Sumber daya manusia pengelola PDAM umumnya kurang profesional sehingga
menimbulkan inefisiensi dalam manajemen. Dari segi keuangan, tarif air saat ini
tidak bisa menutup biaya operasi PDAM, sehingga PDAM mengalami defisit kas, dan
tidak mampu lagi menyelesaikan kewajibannya. PDAM masih mempunyai hutang jangka
panjang yang cukup besar dan tidak terdapat penyelesaian yang memuaskan. Di awal tahun 2007 misalnya, banyak
warga di kawasan Jakarta mengeluhkan kelangkaan air bersih. Tingginya
permintaan secara otomatis mengakibatkan terjadinya lonjakan harga air bersih.
Diantara sebab kelangkaan air bersih adalah tidak beroperasinya beberapa Perusahaan
Daerah Air Minum (PDAM) secara ideal.
Fakta yang ada menunjukkan bahwa
dari sekitar 400 PDAM yang tersebar di seluruh Indonesia, hanya sekitar 10
persen yang dapat beroperasi dengan prima. Kondisi PDAM pada tahun 2007 adalah
80 perusahaan sehat, 116 kurang sehat, 139 sakit, dari total 335 PDAM. PDAM
saat ini juga terbelit utang kurang lebih sekitar Rp 5,66 triliun. Selain
kapasitas produksi nasional air yang belum terpenuhi, PDAM hingga kini masih
mengalami masalah kebocoran air hingga 40-50 persen.
C. Dampak Kelangkaan Air Bersih
Krisis air bersih yang berkepanjangan menyebabkan dampak
yang buruk pada segala hal. Dalam masalah kekurangan air, negara-negara miskin
paling banyak merasakan dampaknya. Negara-negara ini membutuhkan air dalam
jumlah besar untuk bidang irigasi, domestik dan industri. Air adalah kebutuhan
mendasar manusia, tanpa air lingkungan akan kering dan manusia akan mati. Ada
beberapa penyebab merebaknya masalah krisis air ini, salah satunya kegagalan
beberapa negara untuk meregulasi, mengatur dan menjaga kelestarian air, selain
itu juga pertumbuhan populasi penduduk yang semakin meningkat. Sebagai contoh,
jumlah penduduk Cina yang mencapai 1,2 miliar saat ini akan membengkak menjadi
1,5 miliar pada tahun 2030. Berarti permintaan air akan meningkat sebesar lebih
dari 66 persen selama periode itu. Selain itu, penggunaan sumber air bawah
tanah yang tak terbatas juga memicu krisis air. Selama ini, manusia telah
memanfaatkan air sebagai satu-satunya ”benda” yang tak dapat tergantikan oleh
benda lain. Namun usaha untuk penyediaan air bersih belum banyak dilakukan.
Bisa dibayangkan jika manusia di seluruh bumi ini terus-menerus mengonsumsi air
tanpa ada yang peduli terhadap kelestariannya. Parahnya masalah ketersediaan air
bersih ini menimbulkan masalah yang pelik pada sektor kesehatan. Seperti pada
kasus yang terdapat di situs http://www.sinarharapan.com dikatakan bahwa pernah terjadi di
Jakarta Utara, krisis air bersih mengakibatkan tujuh bayi tewas akibat diare.
Kematian tujuh bayi tersebut berawal dari krisis air bersih. Orang tua para
bayi tidak memiliki pilihan lain dalam memenuhi kebutuhan air bersihnya,
kecuali dengan memanfaatkan air sumur. Kita sangat paham dengan kondisi air
sumur di Jakarta.. Setidaknya ada 20-30 jenis penyakit yang disebabkan oleh
mikroorganisme yang hidup dalam air. Penelitian WHO mengenai penyediaan air
bersih dan sanitasi dengan kesehatan, mengemukakan beberapa penyakit lain
seperti : kolera, hepatitis, polimearitis, typoid, disentrin trachoma, scabies,
malaria, yellow fever, dan penyakit cacingan.
Penelitian WHO mengenai hubungan penyediaan air bersih dan
sanitasi dengan kesehatan, menghasilkan pengklasifikasian seperti yang terlihat
pada tabel berikut: Dampak Bagi Ekonomi Krisis air bersih memberikan dampak
pada bidang ekonomi. Sekitar 65 persen penduduk Indonesia menetap di pulau jawa
yang luasnya hanya tujuh persen dari seluruh luas daratan Indonesia sementara
potensi air yang dimiliki hanyalah 4,5 persen dari total potensi air di
Indonesia. Dalam dua dasawarsa berikutnya diperkirakan air yang dipergunakan
manusia akan meningkat 40 persen dan 17 persen lebih pasokan air dipergunakan
untuk meningkatkan pangan dan populasi. Disisi lain kondisi sumber-sumber air
semakin parah, khususnya di negara-negara miskin karena masalah pencemaran dan
limbah. Oleh karena itu telah diserukan investasi dalam pengadaan air oleh AS
dan membiarkan sektor swasta untuk menyediakan air atau privatisasi air.
Permasalahan privatisasi air di Indonesia sekarang menjadi lebih rumit karena
hampir semua Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) saat ini dalam kondisi tidak
mampu membayar utang-utangnya. Dalam situasi seperti inilah, maka privatisasi
air seolah-olah merupakan obat mujarab untuk membereskan masalah air bersih.
Sekarang ini UU RI No.7 Tahun 2004 tentang sumber daya air yang didalamnya
mengandung semangat privatisasi pengelolaan air telah disahkan. Pemerintah
Daerah diminta mengupayakan sendiri pembiayaan pengelolaan air tersebut, atau
dengan jalan mencari investor.
Di Jakarta, 95 persen saham perusahaan pengelolaan air minum dimiliki dua perusahaan asing, RWE Thames dari Inggris dan Ondeo Suez asal Perancis. Di daerah lain pun sejumlah perusahaan besar dunia di sektor air telah beroperasi. Misalnya, Biwater di Batam dan Palembang; Ondo Suez di Medan, Semarang, dan Tangerang; Thames Water di Sidoarjo; dan Vivendi yang juga beroperasi di Sidoarjo. Pemberlukan UU Nomor 7 Tahun 2004 dimana sektor swasta diperbolehkan untuk mengelola sumber daya air di Indonesia dianggap pemerintah sebagai solusi untuk pengelolaan sumber daya air. dengan harapan jika masyarakat diberi nilai air secara ekonomis tinggi, maka perlakukan masyarakat terhadap air menjadi berbeda: lebih hemat, menjaga dan mensyukuri.
Di Jakarta, 95 persen saham perusahaan pengelolaan air minum dimiliki dua perusahaan asing, RWE Thames dari Inggris dan Ondeo Suez asal Perancis. Di daerah lain pun sejumlah perusahaan besar dunia di sektor air telah beroperasi. Misalnya, Biwater di Batam dan Palembang; Ondo Suez di Medan, Semarang, dan Tangerang; Thames Water di Sidoarjo; dan Vivendi yang juga beroperasi di Sidoarjo. Pemberlukan UU Nomor 7 Tahun 2004 dimana sektor swasta diperbolehkan untuk mengelola sumber daya air di Indonesia dianggap pemerintah sebagai solusi untuk pengelolaan sumber daya air. dengan harapan jika masyarakat diberi nilai air secara ekonomis tinggi, maka perlakukan masyarakat terhadap air menjadi berbeda: lebih hemat, menjaga dan mensyukuri.
Sebenarnya, privatisasi tersebut akan membuat akses
masyarakat terhadap air menjadi terbatas dan mahal. Karena seluruh biaya
pengelolaan dan perawatan jaringan air dan sumber air lainnya bergantung semata
pada pemakai dalam bentuk tarif. Sebenarnya dengan komersialisasi air, mereka
yang memiliki uang paling banyaklah yang akan mendapat air paling banyak.
Masyarakat miskin yang tidak punya uang justru makin sulit mendapat air
sehingga banyak orang yang tidak mampu mendapat air sehat untuk minum. Contoh
kasus yang terjadi di Jakarta Utara menurut pengakuan seorang warga yang
dikutip dari http://www.kompas.com mengatakan bahwa ”Uang yang semula
disimpan untuk belanja kebutuhan lain, seperti beras dan minyak tanah, diambil
buat membeli air. Kami terbebani.”
D.
Program Pemerintah untuk Mengatasi
Kelangkaan Air Bersih
1. Kelompok Kerja
Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
Pembentukan
Kelompok Kerja ini didasari pada pemikiran bahwa pembangunan air minum dan
penyehatan lingkungan tidak hanya terkait pada satu bidang tertentu tetapi
harus merupakan kesatuan dari beberapa aspek, yaitu aspek teknis, kelembagaan,
pembiayaan, sosial dan lingkungan hidup. Berdasarkan pemahaman itulah maka dibentuk Kelompok Kerja
Air Minum Dan Penyehatan Lingkungan, yang terdiri dari departemen-departemen
terkait, yaitu Departemen Dalam Negeri, Departemen Kesehatan, Departemen
Permukiman dan Prasarana Wilayah, dan Departemen Kesehatan serta
dikoordinasikan oleh Bappenas. Selain
terkait dengan kegiatan Proyek Penyediaan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (Proyek
WASPOLA, WSLIC-2, Pro-Air, CWSH, SANIMAS), Kelompok Kerja juga terlibat pada
penyusunan Kebijakan Nasional Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan.
Saat ini baru diselesaikan Kebijakan Nasional Pembangunan Air Minum dan
Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat dan sedang dalam tahap penyusunan
Kebijakan Nasional Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Lembaga ataupun
kegiatan uji coba penerapan kebijakan di daerah dan kegiatan kampanye publik
mengenai air minum dan penyehatan lingkungan, yang ditempuh melalui kegiatan
penyusunan jurnal air minum dan penyehatan lingkungan, pembuatan poster ataupun
komik. Pengelolaan air minum dan penyehatan
lingkungan berbasis masyarakat adalah pengelolaan yang menempatkan masyarakat
sebagai pengambil keputusan dan penanggung jawab, pengelola adalah masyarakat
dan/atau lembaga yang ditunjuk oleh masyarakat, yang tidak memerlukan legalitas
formal serta penerima manfaat diutamakan pada masyarakat setempat, dengan
sumber investasi berasal dari mana saja (kelompok, masyarakat, pemerintah,
swasta ataupun donor). Sedangkan pengelolaan air minum dan penyehatan
lingkungan berbasis masyarakat adalah pengelolaan yang menempatkan masyarakat
sebagai pengambil keputusan dan penanggung jawab, pengelola adalah masyarakat
dan/atau lembaga yang ditunjuk oleh masyarakat, yang tidak memerlukan legalitas
formal serta penerima manfaat diutamakan pada masyarakat setempat, dengan
sumber investasi berasal dari mana saja (kelompok, masyarakat, pemerintah,
swasta ataupun donor). Diharapkan
keanggotaan Kelompok Kerja ini semakin meluas sehingga kegiatan yang dilakukan pun semakin beragam dalam rangka
peningkatan aksesibilitas masyarakat akan air minum dan penyehatan lingkungan.
BAB IV
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Air
merupakan unsur yang vital dalam kehidupan manusia. Ketersediaan air di dunia
ini begitu melimpah ruah, namun yang dapat dikonsumsi oleh manusia untuk
keperluan air minum sangatlah sedikit. Dari total jumlah air yang ada, hanya
lima persen saja yang tersedia sebagai air minum, sedangkan sisanya adalah air
laut. Selain itu, kecenderungan yang terjadi sekarang ini adalah berkurangnya
ketersediaan air bersih itu dari hari ke hari. Semakin meningkatnya populasi,
semakin besar pula kebutuhan akan air minum. Sehingga ketersediaan air bersih
pun semakin berkurang. Potensi air permukaan di Indonesia sendiri lebih kurang 1.789
milyar m3/tahun. Sekitar 119 juta rakyat Indonesia belum memiliki akses
terhadap air bersih (Suara Pembaruan – 23 Maret 2007). Penduduk Indonesia yang
bisa mengakses air bersih untuk kebutuhan sehari-hari, baru mencapai 20 persen
dari total penduduk Indonesia. Itupun yang dominan adalah akses untuk
perkotaaan Penyebab dari terjadinya krisis air bersih ini antara lain: perilaku
manusia yang kurang, Populasi yang terus bertambah dan sebaran penduduk yang
tidak merata, kerusakan lingkungan, manajemen pengelolaan air yang buruk,
global warming, anggaran yang tidak mencukupi, serta buruknya kinerja PAM PDAM.
Kemudian krisis air bersih ini juga memberikan dampak yang cukup signifikan
bagi kehidupan masyarakat diantaranya dampak bagi kesehatan yaitu timbulnya berbagai
macam penyakit dan dampak ekonomi yaitu sulitnya air bersih didapatkan terutama
bagi rakyat miskin.Tetapi pemerintah juga terus berusaha untuk memperbaiki
itu semua melalui berbagai cara.
B. SARAN
1.
Untuk pemerintah diharapkan dapat membuat dan mengoptimalkan
program mengenai Penyediaan Air bersih dan diperlukan kerja sama dan peran
serta masyarakat dalam pelaksanaaan program.
2.
Untuk masyarakat diharapkan mempunyai kesadaran
untuk menjaga kelestarian alam sekitar sehingga kualitas ketersediaan air di daerah
mereka tetap bagus dan tidak tercemar.
DAFTAR PUSTAKA
Air dan
Sanitasi untuk Kesehatan (Kompas 19 Maret 2008), 49
Andi Iqbal
Burhanuddin, Fenomena Pemanasan Global dan Dampaknya (22 Nov 2007) http://www.fajar.co.id
Belum
Semua Warga Menikmati Air Bersih (25 April 2007) http://www.suarapublik.org
Brigita
Isworo L., “Bom Waktu yang Terus Berdetik, ” (Kompas, 19 Maret 2008), 48
Elok Diah
Messwati, ”Sanitasi Buruk Ancam Kehidupan” (Kompas, 19 Maret2008), hal 45
M. Aris
Marfai, Krisis Air, Tantangan Manajemen Sumberdaya Air (Mar 09 2008 ) http://arismarfai.staff.ugm.ac.id/wp
Privatisasi
Air Ciderai Hak Rakyat http://www.adilnews.com
Suara
Pembaruan Daily, “Kerusakan Lingkungan Penyebab Utama
Kekeringan”(14
Maret 2003) http://www.suarapembaruan.com
Sri
Hartati Samhadi, Sasaran Pembangunan Milenium: Terengah-engah Mengatasi
Ketinggalan, Kompas (19 maret 2008), hal 47
Suara
Pembaruan Daily, “Kerusakan Lingkungan Penyebab Utama Kekeringan”(14 Maret
2003)
LAMPIRAN
GAMBAR
AIR BERSI
GAMBAR
AIR KOTOR / AIR YANG SUDAH TERCEMAR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar