Jumat, 22 Maret 2019

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Masalah kepemimpinan telah banyak dilakukan oleh para peneliti dari  berbagai aspek. Hasil penelitian tersebut telah memungkinkan masyarakat modern memiliki berbagai acuan ilmiah yang secara teoritikal memberikan gambaran tentang betapa pentingnya kepemimpinan yang efektif dalam kehidupan organisasional. Baik organisasi pemerintahan, politik, sosial, bisnis, pendidikan maupun keagamaan.
Pemahaman tentang kepemimpinan semakin diperkaya lagi oleh pengalaman banyak orang yang dalam perjalanan kariernya memperoleh kesempatan untuk menduduki jabatan-jabatan pimpinan dari tingkat rendah sampai tingkat puncak. Artinya penggabungan antara pemahaman teoritikal dan empiris telah memberikan keyakinan yang semakin mendalam di kalangan masyarakat tentang kepemimpinan dalam organisasi. Tetapi perlu ditegaskan bahwa suatu ilmu tidak  pernah mengalami kejenuhan, ditemukan satu teori baru akan muncul niat untuk mencari yang lebih baru lagi dan seterusnya. Apabila ditarik kesimpulan tidak pernah ada teori ataupun ilmu manusia yang sempurna.
Mutu barang atau jasa yang dihasilkan oleh suatu organisasi niaga maupun sosial  sangat dipengaruhi oleh sampai sejauh mana para manajer dalam organisasi yang bersangkutan mampu menjalankan fungsi-fungsi manajerialnya mulai dari penentuan visi misi, tujuan, berbagai sasaran,  dan penentuan strategi organisasi. Begitu pula halnya organisasi-organisasi di lingkungan pemerintahan yang tanggung jawab utamanya adalah menyelenggarakan tugas-tugas sesuai dengan peraturan yang berlaku dan memberi pelayanan kepada masyarakat perlu manajemen yang tepat dari para pemimpinya.
Demikian pula halnya dengan organisasi-organisasi yang bergerak di bidang pendidikan baik yang dikelola oleh pemerintah maupun yang dimiliki, dikelola dan diselenggarakan oleh masyarakat, keberhasilannya sangat tergantung kemampuan manajerialnya. Organisasi sosial yang nirlaba mencapai tujuannya sangat tergantung pada kepercayaan masyarakat atas manfaat organisasi tersebut serta mutu organisasi sebagai keseluruhan yang dicerminkan oleh mutu para pimpinan dalam organisasi yang bersangkutan.
            Mutu kepemimpinan dalam berbagai organisasi tersebut terlihat antara lain                        dalam kemampuan para pejabat pimpinan dalam organisasi untuk:
1.      Memahami sepenuhnya berbagai faktor yang merupakan kekuatan bagi    organisasi,
2.      Mengenali secara tepat berbagai bentuk kelemahan yang terdapat dalam organisasi,
3.      Memanfaatkan berbagai peluang yang mungkin timbul,
4.      Menghilangkan berbagai bentuk ancaman yang dapat menjadi penghalang bagi keberhasilan organisasi mencapai tujuan dan berbagai sasarannya,
5.      Memiliki sifat yang proaktif dan antisipatif terhadap perubahan yang pasti selalu terjadi, baik karena faktor-faktor intern maupun karena tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
6.      Mendorong para bawahan sehingga bekerja dengan tingkat efisiensi, efektivitas dan produktifitas yang mendorong keberhasilan usaha,
7.      Menciptakan cara dan iklim kerja yang mendukung wawasan kebersamaan dalam usaha pencapaian tujuan.

Sudah barang tentu peranan seorang pemimpin tidak terbatas hanya pada koordinasi, melainkan juga dituntut mutu kepemimpinan yang mencakup persepsi, wawasan, filsafat, dan gaya kepemimpinan . Salah satu peran kepemimpinan yang amat penting dalam proses pengelolaan suatu organisasi mengintegrasikan berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh semua  satuan kerja dalam organisasi demi terjaminnya kesatuan gerak untuk mencapai tujuan bersama.

            Sentralnya peranan dan pentingnya kepemimpinan dalam kehidupan organisasi dapat dilihat dua hal utama sbb:
1.      Kesediaan berbagai organisasi untuk memberikan balas jasa yang tinggi kepada para pejabat pimpinan.
2.      Banyaknya progran pendidikan dan pelatihan bagi para pejabat pimpinan bahkan tugas belajar melalui pendidikan formal dengan biaya yang besar.

Dalam kehidupan organisasi, berbagai peraturan, prosedur, mekanisme kerja dan sejenisnya tidak dimaksudkan untuk menggantikan peranan kepemimpinan dalam organisasi. Sebaliknya justru untuk membantu pimpinan dalam menjalankan fungsinya agar lebih efektif.
Muncul perdebatan para ilmuwan yang perlu dicari jawabannya tentang kepemimpinan:
1.      Apakah seorang pemimpin dilahirkan atau ditempa?
2.      Apakah efektivitas kepemimpinan seseorang dapat dialihkan dari satu organisasi ke organisasi lain oleh seorang pemimpin yang sama?
3.      Apakah satu gaya kepemimpinan tertentu yang menjadi ciri seseorang dapat secara konsisten digunakan pada organisasi yang berbeda?

B.     Dikotomi Pandangan  Tentang  Asal-usul Kepemimpinan`
Sebagian ilmuwan berpendapat bahwa ”pemimpin dilahirkan”  (leaders are born). Pandangan ini menyebutkan bahwa seseorang akan menjadi pemimpin yang efektif karena dia dilahirkan dengan bakat-bakat kepemimpinan. Pendapat ini diwarnai oleh filsafat hidup deterministik dalam arti adanya keyakinan diantara penganutya bahwa jika seseorang memang ditakdirkan menjadi seorang pemimpin, yang bersangkutan akan tampil di panggung kepemimpinan yang efektif dalam menjalankan fungsi fungsinya. Aliran ini tidak mempersoalkan betapa banyak kesempatan yang dimanfaatkan oleh seseorang dalam upaya menumbuhkan efektivitas kepemimpinannya, apabila orang itu tidak dilahirkan dengan bakat-bakat kepemimpinan, yang bersangkutan tidak akan pernah menjadi pemimpin yang efektif.

            Disisi lain berpendapat bahwa “Pemimpin dibentuk dan ditempa”(leaders are made). Pandangan ini mengatakan bahwa efektivitas kepemimpinan seseorang dapat dibentuk atau ditempa melalui proses pendidikan dan latihan yang terarah dan intensif akan mencapai efektivitas kepemimpinan yang maksimal.

Paradigma yang lebih mendekati kebenaran ilmiah yang didukung oleh pengalaman para praktisi mengatakan bahwa efektivitas kepemimpinan seseorang dilandasi dengan modal bakat yang dibawa sejak lahir,  kemudian tumbuh dan berkembang melalui dua jalur, yaitu kesenpatan untuk menduduki jabatan pimpinan dan tersedianya kesempatan yang cukup luas menempuh pendidikan dan latihan kepemimpinan.

            Kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan yang dewasa ini samakin banyak didukung oleh penelitian ilmiah dan pengalaman empiris bahwa seseorang hanya akan menjadi  pemimpin yang efektif apabila:
1.      Seseorang secara genetik telah memiliki bakat-bakat kepemimpinan.
2.      Bakat tersebut dikembangkan melalui kesempatan menduduki jabatan pimpinan.
3.      Pengetahuan teoritis diperoleh melalui pendidikan dan latihan,   terutama yang menyangkut teori kepemimpinan.

C.    Pengalihan  Keberhasilan Memimpin
Kalangan ilmuwan mengemukakan pertanyaan tentang kepemimpinan yang dirumuskan ke dalam dua kategori sebagai berikut:
1. Keberhasilan sesorang memimpin satu organisasi dengan sendirinya   dapat dialihkan kepada kepemimpinan oleh orang yang sama di organisasi lain.
2.      Keberhasilan seseorang memimpin satu organisasi tidak merupakan jaminan keberhasilannya memimpin organisasi yang lain.

Dari dua pertanyaan di atas sulit menjawabnya, karena memang tidak pernah ada jaminan tentang teori manapun, khususnya tentang jaminan keberhasilan seseorang memimpin suatu organisasi. Yang terjadi adalah pengalaman seseorang memimpin sebuah organisasi dapat menjadi modal dalam memimpin organisasi lain. Salah satu langkah penting yang dapat dan harus diambil adalah mempelajari situasi baru yang dihadapinya. Setiap organisasi merupakan satuan kerja yang memiliki sifat khusus atau khas baik dipengaruhi oleh jenis organisasi maupun lingkungan organisasi berada.

Ada kriteria umum yang biasa digunakan dalam menilai efektivitas kepemimpinan seseorang. Disamping itu ada juga kriteria yang bersifat khusus yang berhubungan dengan visi misi, tujuan dan sasaran organisasi bersangkutan.      
Alm. Jendral Dwight D. Eisenhower sering digunakan sebagai contoh orang yang mampu memegang pimpinan di beberapa organisasi yang berbeda dan sukses. (1). Seorang Jendral memimpin pasukan Sekutu saat Perang Dunia II berhasil memenangkan peperangan berkat efektivitas kepemimpinannya sebagai Penglima Tertinggi yang sangat dikagumi. (2) Setelah Perang Dunia II berakhir, Eisenhower dipercaya  sebagai Rektor Universitas Columbia di Kota New York. (3) Selanjutnya Jendral ini terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat.

Kemampuan Jendral Eisenhower yang berhasil memangku tiga jabatan dalam organisasi yang berbeda, Jabatan puncak Militer (sebagai Panglima), Pendidikan (sebagai Rektor) – Negarawan (sebagai Presiden), membuktikan bahwa ia mampu menyesuaikan dirinya terhadap organisasi yang dipimpinnya dengan tepat dan cepat.

D.    Konsistensi Gaya Kepemimpinan.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa gaya kepemimpinan seseorang tidak berubah menghadapi situasi yang bagaimana pun. Misalnya seseorang yang memiliki kepemimpinan yang otokratik, maka gaya kepemimpinannya pun akan otokratik pula, terlepas dari situasi organisasional yang dihadapinya. Sebaliknya, seseorang yang pada dasar nya berpandangan demokratik akan secara konsisten menggunakan gaya kepemimpinan yang partisipatif meskipun situasi organisasional yang dihadapinya sesungguhnya menuntut gaya kepemimpinan yang lain.
           
Menurut teori situasional seorang pemimpin yang paling otokratif akan mengubah gaya kepemimpinan menjadi gaya demokratik karena tuntutan dan desakan situasi yang dihadapinya. Sebaliknya seseorang yang memiliki gaya kepemimpinan demokratik dapat berubah menjadi gaya otokratik ketika situasi genting atau membahayakan dirinya ataupun organisasi sehingga harus bertindak tegas dan cepat.

Dalam hubungan ini perlu ditekankan terlebih dahulu bahwa gaya dasar yang tepat dimiliki oleh seorang pimpinan adalah demokratik dengan sepuluh karakteristik utama sbb:
1.      Kemampuan memperlakukan organisasi sebagai suatu totalitas dengan menempatkan semua satuan organisasi sesuai peran dan proporsi yang tepat.
2.       Mempunyai persepsi yang holistik mengenai organisasi yang dipimpinya.
3.      Menggunakan pendekatan yang integratik dalam menjalankan fungsi fungsi kepemimpinan.
4.      Menempatkan kepentingan organisasi di atas kepentngan sendiri dan kelompok.
5.      Menjunjung tinggi harkat martabat bawahan/karyawan.
6.      Memberikan kesempatan bawahan untuk peran serta.
7.      Keterbukaan terhadap ide dan saran.
8.      Rasional dan obyektif dalam menilai perilaku dan prestasi bawahan.
9.      Menjadi teladan bagi bawahan.
10.  Memelihara iklim organisasi yang konduksif.














BAB ll
TIPOLOGI KEPEMIMPINAN

Gaya kepemimpinan seseorang tidak bersifat “fixed”,artinya seseorang yang menduduki jabatan pimpinan mempunyai kapasitas untuk “membaca” situasi yang dihadapinya secara tepat dan menyesuaikan gaya kepemimpinannya agar sesuai dengan tuntutan situasi yang dihadapinya. Gaya kepemimpinan yang secara luas dikenal dewasa ini ada lima tipe sebagai berikut:
1.      Tipe otokratik
2.      Tipe paternalistik
3.      Tipe kharismatik
4.      Tipe lissez faire
5.      Tipe demokratik

Masing masing tipe di atas memiliki karakteristik tertentu, adapun cara menganilisis tipe dengan melakukan katagori berdasarkan:
1.      Persepsi seorang tentang peranannya selaku pemimpin
2.      Nilai yang dianut
3.      Sikap dalam mengemudikan jalannya organisasi
4.      Perilaku dalam memimpin
5.      Gaya kepemimpinan yang dominan.

Pertama, persepsi selaku pemimpin. Proses penataan dan penerjemahan kesan-kesan tentang lingkungannya. Dapat juga diartikan cara pandang seseorang terhadap lingkungan organisasi yang dipimpinya, biasanya dipengaruhi oleh subyektivitas.

Kedua, nilai yang dianut. Nilai ialah sebuah keyakinan dasar yang terdapat pada diri seseorang tentang yang“baik”dan yang “buruk”, yang “benar” dan yang “salah” Nilai-nilai itu beraneka ragam, misalnya nilai teoritikal dibuktikan dengan kebenaran ilmiah, nilai ekonomi (bermanfaat), estetika  (keharmonisan), sosial dilandasi kasih sayang, politik orientasi pada kekuasaan, keagamaan dengan pemahaman atas kekuasaan Tuhan Yang Esa.

Ketiga, sikap. Sikap ialah bentuk pernyataan evaluatif seseorang menyangkut obyek atau peristiwa, terdiri sikap positif atau negatif

Keempat, perilaku. Cara berinteraksi dengan orang lain. Awalnya pandangan seseorang didasarkan atas intuisi (harapan akan berhasilnya sebuah tujuan).

Kelima, gaya yang dominan. Akhirnya dapat diartikan bahwa gaya sesungguhnya mengenai “modalitas” dalam kepemimpinan. Modalitas berarti mendalami cara-cara yang disenangidan digunakan dalam menjalankan fungsi kepemimpinan.
  
A.   Tipe Otokratik
Kepemimpinan yang tergolong sebagai pemimpin yang otokraktik memiliki serangkaian krateristik yang dapat di pandang sebagai krateristik yang negatif. Dilihat dari segi persepsinya, seorang pemimpin yang otokratik adalah seseorang yang sangat egois. Seorang pemimpin menunjukkan egonya bahwa tujuan organisasi identik dengan tujuan pribadinya. Misalnya menerapkan disiplin keras, orientasi pada tujuan dengan mengabaikan hak dan kebutuhan bawahan.
Dengan egoisme yang besar, seorang pemimpin yang otokratik  melihat peranannya  sebagai sumber segala sesuatu dalam kehidupan organisasi seperti kekuasaan yang tidak perlu dibagi dengan orang lain dalam organisasi, ketergantungan total para anggota organisasi mengenai nasib masing – masing dan lain sebagainya. Berdasarkan nilai-nilai tersebut, seorang pemimpin yang otokratik= otoritermenunjukkan sikap “akunya” antara lain:
1.      Kecenderungan memperlakukan para bawahan sama dengan alat-alat lain dalam organisasi sepertinya mesin.
2.      Berorientasi pada penyelesaian tugas untuk mencapai tujuan.
3.      Mengabaikan peran bawahan dalam pengambilan keputusan.
4.      Mernuntut ketaatan penuh bawahan.
5.      Penegakan disiplin keras yang menimbulkan ketakutan.
6.      Pemberian tugas bernada perintah atau intruksi
7.      Pendekatan punitif (sangsi) dalam hal pelanggaran.

B.     Tipe Paternalistik
Tipe kepemimpinan paternalistik banyak terdapat di lingkungan masyarakat tradisional, umumnya pada masyarakat agraris. Salah satu ciri masyarakat tradisional demikian ialah rasa hormat yang tinggi bawahan kepada Sang pemimpin. Para bawahan mendambakan perlindungan dan keteladanan pemimpinnya. Popularitas pemimpin yang paternalistik ditunjukkan oleh beberapa faktor, sbb:
1.      Kuatnya ikatan primordial.
2.      Extended familiy sistem
3.      Kehidupan masyarakat yang komunalistik
4.      Peranan adat istiadat yang sanggat kuat dalam kehidupan bermasyarakat
5.      Masih dimungkinkan hubungan yang intim antar anggota masyaraka

C.Tipe  Kharismatik
Literatur yang ada tentang kepemimpinan tidak memberikan petunjuk yang cukup bagi penulis untuk melakukan analisis tentang kepemimpinan yang kharismatik berdasarkan kreteria presepsi, nilai-nilai yang dianut, sikap, perilaku dan gaya kepemimpinan. Kurangnya pengetahuan untuk menjelaskan kreteria ilmiah mengenai kepemimpinan yang kharismatik, lalu cenderung mengatakan bahwa ada orang-orang tertentu yang memiliki “kekutan ajaib” yang tidak mungkin dijelaskan secara ilimiah yang menjadikan orang-orang tertentu itu dipandang sebagai pemimpin yang kharismatik.
Karakteristik yang khas tentang pemimpin yang kharismatik yaitu daya tariknya menjadikan ia dikagumi banyak orang terutama masyarakat lingkungannya. Hal ini bukan karena umur, kecerdasan, harta atau yang lainnya. Jumlah pemimpin yang kharismatik tidak banyak, akibatnya untuk mengadakan penelitian gaya ini mengalami kendala dan kelemahan.

D.Tipe  Laissez Faire
Tipe pemimpin laissez faire berpandangan bahwa organisasi akan berjalan dengan sendirinya karena para anggota organisasi adalah orang-orang dewasa yang mengetahui apa yang menjadi tujuan organisasi, sasaran  yang ingin dicapai, tugas apa yang harus ditunaikan oleh masing-masing angota dan  pimpinan tidak perlu terlalu sering melakukan intervensi dalam kehidupan organisasional.
Karakteristik utama seorang pemimpin yang laissez faire ditinjau dari kreteria persepsi, nilai, sikap dan perilaku di atas, mudah menduga bahwa gaya kepemimpinan yang digunakan adalah:
1.      Pendelegasian wewenang terjadi secara ekstensif/
2.      Pengambilan keputusan diserahkan kepada para pejabat pimpinan yang lebih rendah. Dan kepada petugas operasional
3.      Status quo organisasional tidak terganggu
4.      Penumbuhan pengembangan kemampuan berpikir dan bertindak inovatif dan kreatif diserahkan kepada masing-masing individu.
5.      Intervensi pimipnan  kepada bawahan sangat rendah   
      
E.Tipe  Demokratik
Baik di kalangan ilmuan maupun di kalangan praktisi terdapat kesepakatan bahwa tipe pemimpin yang paling idaeal dan paling didambakan adalah pemimpin yang demokratik. Tetapi dengan berbagai kelemahannya pemimpin yang demokratik tetap dipandang sebagai pemimpin terbaik karena kelebihan-kelebihannya mengalahkan kekurangan-kekurangannya.
Peranan yang dimainkan oleh nilai-nilai yang dianut oleh seorang pemimpin yang demokratik dalam peningkatan usahanya menjadi pemimpin yang efektif.
Nilai-nilai organisasional seperti telah dikemukakan diatas tercermin dalam sikap seorang pemimpin yang demokratik dalam hubungannya dengan para bawahannya, baik mereka yang menduduki jabatan pimpinan yang lebih rendah maupun mereka yang menjadi karyawan (angota biasa)
Seorang pemimpin yang demokratik akan bangga jika para bawahannya menunjukkan kemampuan kerja yang lebih tinggi dari kemampuannya sendiri. Persepsi, nilai, sikap dan perilaku demikian bermuara pada gaya kepemimpinan yang digunaklan sebagai.cerminan berbagai hal antara lain:
1.      Betapapun besarnya sumber daya yang tersedia dalam organisasi, tidak akan banyak memberi arti, kecuali jika dimanfaatkan oleh manusia dalam organisasi untuk kepentingan tercapainya tujuan bersama dalam organisasi.
2.      Berbagai kegiatan tidak boleh dilakukan sendiri, perlu ada pendelegasian wewenang kepada pejabat dibawahnya atau bagian operasional.
3.      Bawahan dilibatkan secara aktif melalui peransertanya
4.      Memperlakukan bawahan sebagai makhluk sosial, ekonomi, politik yang mempunyai kebutuhan serta hak haknya sebagai manusia.
5.      Perlu pengakuan yang tulus dari para bawahan terhadap pimpinan atas kemampuan memimpin organisasi.













































BAB III    
FUNGSI-FUNGSI KEPEMIMPINAN

Peranan para pejabat pimpinan dalam uatu organisasi sangat sentral dalam usaha pencapai tujuan. Hasil penelitian dari banyak ilmuwan yang pengalaman  menunjukkan bahwa efektivitas kepemimpinan seseorang pada akhirnya dinilai dengan menggunakan kemampuan mengambil keputusan sebagai kriteria utamanya. Dalam hubungan ini perlu ditekankan bahwa yang dimaksud dengan kemampuan mengambil keputusan tidak diukur hanya dengan ukuran kuantitatif dalam arti jumlah keputusan yang diambil, yang digunakan adalah jumlah keputusan yang diambil yang bersifat praktis realistik, dan dapat dilaksanakan serta memperlancar usaha pencapaian tujuan organisasi, ditandai dengan ciri:
1.      Kualitatif, dalam arti mutu keputusan yang diambil
2.      Ketepatan model pengambilan keputusan sesuai dengan situasi dan kondisi
3.      Ketepatan teknik pengambilan keputusan sesuai dengan sifat dan sasaran permasalahan yang ingin dicapai
4.      Respon dan dukungan para pelaksana keputusan.
5.      Pendekatan organisasi dengan tujuan yang telah ditetapkan untuk dicapai.

Kemampuan mengambil keputusan merupakan kriteria utama dalam menilai efektivitas kepemimpinan seseorang. Kriteria lainnya yang menyangkut kemampuan seorang pemimpin menjalankan fungsi-fungsi kepemimpinan dalam organisasi meliputi: penentu arah, wakil/juru bicara, komunikator, mediator, dan integrator.

A.Pimpinan Sebagai Penentu Arah
Setiap organisasi baik bidang kenegaraan, keniagaan, politik, sosial dan organisasi kemasyarakatan lainnnya, dibentuk dan dikembangkan sebagai wahana untuk mencapai sesuatu tujuan tertentu, baik yang sifatnya jangka panjang, jangka sedang maupun jangka pendek yang tidak mungkin  dicapai oleh para anggotanya yang bertindak sendiri-sendiri. Kenyataan yang sering dihadapi oleh setiap organisasi ialah bahwa sarana dan prasarana yang tersedia terbatas sifatnya, sedangkan tujuan yang ingin dicapai, terutama yang bersifat jangka panjang sesuatu yang sifatnya tidak terbatas.
Pimpinan mempunyai tanggung jawab untuk memberdayakan sumber daya yang ada dan menggunakan sarana prasarana serta pendukung lainnya secara maksimal. Dalam hal ini pimpinan berkewajiban menentukan arah kebijakan yang dituangkan dalam pengambilan keputusan, tergantung pada jenjang hirarkhi jabatan pimpinan yang di duduki oleh seseorang dalam suatu organisasi. Keputusan yang diambil dalam organisasi dapat digolongkan sebagai berikut: keputusan strategik, taktik, teknis, dan opersaional.
Semakin tinggi kedudukan kepemimpinan seseorang, semakin tinggi nilai dan bobot strategik keputusan yang diambilnya, dengan ciri: jangka waktu jauh ke depan, dampak terhadap organisasi kuat dan cakupannya menyeluruh/komplek. Sebaliknya semakin rendah kedudukan, semakin rendah pula kadar strategiknya.
Kemampuan para pejabat pimpinan sebagai penentu arah yang hendak ditempuh di masa depan merupakan saham yang amat penting dalam kehidupan organisasi. Strategi dan arah yang tidak tepat justru akan membahayakan kelangsungan hidup organisasi.   

B.Pimpinan Sebagai Wakil dan Juru Bicara Organisasi         
Organisasi tidak akan mampu mencapai tujuannya tanpa memelihara hubungan yang baik dengan berbagai pihak di luar organisasi yang bersangkutan. Kebijaksanaan dan kegiatan organisasi perlu dijelaskan kepada berbagai pihak  agar mereka  mempunyai persepsi yang positif tentang kehidupan organisasional. Banyak pihak di luar organisasi yang mutlak hubungannya perlu dijaga dengan baik, terutama para pelanggan atau konsumen, dan lainnya yang sering disebut “Stakeholders terdiri dari: pemilik modal, pemasok bahan baku, distributor, lembaga keuangan, pemerintah. Sasaran pemeliharaan hubungan seperti di atas dengan tujuan:
1.      Mempunyai persepsi yang tepat tentan citra organisasi
2.      Memahami berbagai kebijaksanaan yang ditempuh oleh organisasi dalam rangka pencapaian tujuan.
3.      Mencegah timbulnya salah pengertian tentang arah yang hendak ditempuh organisasi.
4.      Pada akhirnya memberikan dukungan kepada organisasi.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pimpinan puncak     organisasilah yang menjadi wakil dan juru bicara resmi organisasi dalam hubungan  dengan berbagai pihak di luar organisasi. Sebagai wakil dan juru bicara resmi organisasi, fungsi pimpinan tidak terbatas pada pemeliharaan hubungan baik saja, tetapi harus membuahkan dukungan yang diperlukan oleh organisasi dalam usaha pencapaian tujuan dan berbagai sasarannya.

C.    Pimpinan Sebagai Komunikator Yang Efektif
Proses komunikasi dapat berlangsung dengan efektif apabila pesan yang ingin disampaikan oleh sumber pesan tersebut diterima dan diartikan oleh  penerima pesan dalam bentuk jiwa dan semangat yang sama seperti yang diinginkan dan dimaksudkan oleh sumber pesan tersebut. Untuk itu komunikator sebagai sumber pesan perlu memperlihatkan empat   hal, yaitu:
1.      Keterampilan dalam menyusun pesan sehingga jelas baginya sendiri yang    pada    gilirannya memudahkan kegiatan kodenisasi,
2.      Sikap yang tepat dalam penyampaian pesan tersebut berdasarkan nilai-nilai sosial yang berlaku, terutama nilai-nilai sosial yang dianut oleh pihak penerima pesan tersebut,
3.      Pengetahuan yang mendalam tentang latar belakang, tingkatan pendidikan dan kedudukan penerima pesan, baik dalam organisasi maupun yang menyangkut pihak-pihak di luar organisasi,
4.      Respon apa yang diharapkan dari penerima pesan.
Sistem umpan balik diperlukan pula oleh sumber pesan dalam usahanya meningkatkan kemampuan berkomunikasi secara efektif dimasa datang

D.    Pemimpin Sebagai Mediator
Dalam satu organisasi dapat timbul situasi konflik dan faktor-faktor penyebabnya beraneka ragam. Situasi konflik biasanya timbul karena tiga faktor, yaitu:
1.      Persepsi subyektif kemungkinan timbulnya tantangan dari dalam organisasi.
2.      Kelangkaan sumber daya dana
3.      Adanya asumsi berbagai kepentingan yang sulit diselaraskan      

Kemampuan menjalankan peranan sebagai mediator yang andal terlihat pula       dalam hal terdapat pandangan dalam diri orang-orang dalam organisasi bahwa berbagai kepentingan dalam organisasi sulit dipertemukan. Pandangan demikian sungguh tidak dapat dibenarkan dan harus segera diatasi.
1.      Paradigma yang holistik tidak terdapat dalam organisasi,
2.      Tidak terdapat keyakinan dalam diri para anggota organisasi bahwa tujuan-tujuan mereka pribadi telah tercakup dalam tujuan-tujuan organisasional,
3.      Cara kerja dan cara berpikir yang dominan masih dilandasi oleh sikap dan perilaku yang negatif
4.      Pengkotak-kotakan dipandang sebagai hal yang normal dan oleh karenanya dapat dibenarkan,
5.      Terdapat ketidakjelasan pola pengambilan keputusan, pola pendelegasian wewenang, mekanisme kerja dan pembagian tugas.
  
 Secara ilmiah terdapat tiga pandangan tentang konflik yaitu:
1.      Pandangan tradisional yang mengatakan bahwa semua bentuk konflik tidak baik, merupakan pandangan yang paling lama mendominasi pemikiran tentang konflik dalam kehidupan organisasional, artinya terdapatnya situasi konflik dalam organisasi dipandang secara negatif karena dapat berakibat pada tindak kekerasan, pengrusakan dan berbagai bentuk tindakan yang tidak rasional.
2.      Pandangan keperilakuan yang mengatakan bahwa adanya konflik merupakan hal yang alamiah dan normal, artinya konflik selalu timbul dalam interaksi antara manusia sebagai individu dengan individu lain dan antara satu kelompok dengan kelompok yang lain.
3.      Pandangan interaksionis yang mengatakan bahwa timbulnya konflik merupakan hal yang baik. Karena baik, timbulnya konflik justru perlu didorong karena tanpa adanya konflik kehidupan organisasional akan diwarnai oleh berbagai sikap.

Bahwa semua jenis konflik yang timbul, baik yang tergolong fungsional, konstruktif, disfungsional maupun destruktif, harus diatasi dan di sinilah peran pimpinan selaku mediator menjadi sangat penting. Teori yang telah dikembangkan dewasa ini memberikan petunjuk tentang adanya lima teknik atau cara yang dapat digunakan oleh seorang pimpinan selaku mediator dalam usahanya menangani konflik yang timbul, baik antara individu yang tergabung dalam satu kelompok kerja maupun antara berbagai kelompok yang terdapat dalam organisasi. Teknik atau cara tersebut ialah:
1.      Kompetisi, yaitu persaingan yang sehat antara individu dalam satu kelompok kerja dan anatarkelompok dapat merupakan daya dorong yang kuat untuk meningkatkan prestasi kerja, produktivitas dan inovasi.
2.      Kolaborasi, yaitu peranan seorang pimpinan selaku mediator dalam mengatasi konflik dengan mendorong kolaborasi antara individu dan atau antara kelompok dalam organisasi ternyata bermanfaat dan efektif.
3.      Kompromi, yaitu seorang pimpinan dalam usahanya mengatasi situasi konflik yang timbul di antara para anggotanya, dapat menggunakan teknik yang mendorong sikap yang kompromistik. Sebagaimana halnya dengan teknik-teknik lain yang dapat digunakan dalam menghadapi berbagai situasi konflik, ketepatan teknik ini pun sangat tergantung pada sifat situasi konflik yang dihadapi.
4.      Pengelakan, yaitu teknik ini dipandang efektif apabila situasi konflik yang dihadapi mempunyai sifat  baik apabila diketahui bahwa permasalahan yang menimbulkan situasi konflik sesungguhnya tidak penting atau kalau dipandang ada permasalahan lain yang dianggap lebih penting dan memerlukan penanganan segera.
5.      Akomodasi, yaitu teknik ini mendorong timbulnya sikap yang akomodatif diantara pihak-pihak yang terlibat dalam situasi konflik tertentu dan dipandang tepat.

E.     Pimpinan Selaku Integrator
Sikap mementingkan kelompok dan satuan kerja sendiri mudah timbul apalagi  jika dalam organisasi pembagian tugas menuntut spesialisai yang berlebihan, sistem alokasi dana dan daya yang kurang rasional. Hal ini akan menimbulkan persaingan yang tingi antar bagian baik persaingan positif maupun negatif.
Seorang pimpinan yang efektif dalam menjalankan fungsi-fungsi kepemimpinannya sudah barang tentu tidak akan membiarkan cara berpikir dan bertindak demikian karena organisasi yang diharapkan mampu mencapai tujuannya dengan tingkat efisiensi, efektivitas dan produktivitas yang tinggi hanyalah organisasi yang bergerak sebagai satu totalitas.
Dengan perkataan lain diperlukan integrator terutama pada hirarkhi puncak organisasi. Integrator itu adalah pimpinan. Setiap pejabat pimpinan, terlepas dari hirarkhi jabatannya dalam organisasi, sesungguhnya adalah integrator.
Berdasarkan  pembahasan di atas terlihat bahwa efektivitas kepemimpinan dapat disoroti dari segi penyelenggaraan fungsi-fungsi kepemimpinan yang bersifat hakiki, yaitu fungsi-fungsi sebagai penentu arah yang hendak ditempuh melalui proses pengambilan keputusan, sebagai wakil dan juru bicara organisasi dalam usaha pemeliharaan hubungan dengan pihak-pihak yang berkepentingan di luar organisasi, sebagai komunikator yang efektif, sebagai mediator yang rasional, objektif dan netral dan sebagai integrator yang handal










BAB IV
ANALISIS KEPEMIMPINAN
BERDASARKAN CIRI

Pendekatan tentang kepemimpinan yang efektif telah sepakat bahwa salah satu  yang dapat digunakan adalah dengan menganalisis kepemimpinan berdasarkan ciri-ciri ideal yang menjadi idaman setiap orang yang menduduki jabatan pimpinan. Per definisi pembahasn secara teoritikal menyangkut cirri-ciri yang bersifat ideal. Ciri ciri tersebut merupakan hal yang perlu diusahakan pemiliknya secara terus menerus oleh setiap orang yang menduduki jabatan pimpinan, karena setiap pemimpin hanya memiliki sebagian ciri ciri tersebut. . .
Teori tentang analisis kepemimpinan berdasarkan cirri-yang dalam bahasa inggris dikenal dengan “traits theory” - memberi petunjuk bahwa ciri-ciri ideal tersebut ialah:
1.      Pengetahuan umum yang luas
2.      Kemampuan untuk bertumbuh dan berkembang
3.      Sifat inkuisitif
4.      Kemampuan analitik
5.      Daya ingat yang kuat
6.      Kapasitas integratif
7.      Keterampilan berkomunikasi secara efektif
8.      Keterampilan mendidik
9.      Rasionalitas
10.  Objektivitas
11.  Pragmatisme
12.  Kemampuan menentukan skala prioritas
13.  Kemampuan membedakan yang urgen dan yang penting
14.  Rasa tepat waktu
15.  Rasa kohesi yang tinggi
16.  Naluri relevansi
17.  Keteladananan
18.  Kesediaan menjadi pendengar yang baik
19.  Adaptabilitas
20.  Fleksibilitas
21.  Ketegasan
22.  Keberanian
23.  Orientasi masa depan
24.  Sifat yang antisipatif

Pembahasan singkat tentang masing-masing ciri inilah yang menjadi fokus.

A.    Pengetahuan Umum Yang Luas
Salah satu aksioma tentang kepemimpinan yang telah umum diterima, baik oleh para teoritis maupun oleh para praktisi, ialah bahwa semakin tinggi kedudukan seseorang dalam hirarki kepemimpinan organisasi, ia semakin dituntut untuk mampu berfikir dan bertindak sebagai generalis. Berarti ia dituntut untuk memiliki kemampun untuk melihat dan memperlakukan seluruh satuan kerja dalam organisasi dengan persepsi dan pendekatan yang holistik, bukan dengan persepsi dan pendekatan inkrementalistik, apalagi yang atomistik.
Perlu ditekankan bahwa persepsi dan pendekatan yang inkrementalistik atau yang atomistic tetap penting mendapat perhatian. Hanya saja perhatian demikian cukup diberikan  oleh para pejabat pimpinan yang berada pada bagian bawah dari hirarki kepemimpinan dalam organisasi yang memang dituntut memiliki pengetahuan yang spesialistik.
Analogi yang sering digunakan untuk menggambarkan perbedaan antara persepsi dan pendekatan yang generalis dngan yang spesialistik ialah dengan mengatakan bahwa apabila seseorang menduduki posisi puncak dalam hirarki kepemimpinan dalam organisasi, ia dituntut untuk mengenali “ hutan dimana ia berada bukan lagi mengenali pohon-pohon yang terdapat dalam hutan tersebut”.
Beberapa contoh berikut ini akan membuktikan kebenaran pendapat atau analogi di atas. Seorang recktor universitas diharapkan mampu memberikan perhatian yang sama intensitasnya kepada semua fakultas, badan dan lembaga  yang terdapat di lingkungan universitas yang dipimpinnya dan tidak menganakmaskan salah satu di antarannya hanya karena kebetulan bidang spesialisasi ilmiah yang ditekuninya merupakan bidang ilmu yang merupakan tanggung jawab satuan kerja tertentu untuk diteliti, dikembangkan dan disebarluaskan.
Tegasnya, jika kebetulan rector suatu universitas seorang pakar llmu Ekonomi, ia sebagai rektor yang efektif tidak akan memberikan perhatian yang lebih besar kepada fakultas ekonomi di lingkungan universitas yang dipimpinnya itu. Sikap dan peilaku demikian merupakan sikap dan perilaku yang tepat karena seorang rektor merupakan pimpinan puncak dalam organisasi, bukan lagi sebagai seorang teoritisi yang kebetulan menekuni satu disiplin ilmiah tertentu. Bahwa ia menerapkan berbagai teori ekonomi yang dikuasainya dalam usaha meningkatkan efektivitasnya selaku rektor dan produktivitas universitas yang dipimpinnya tidak akan ada yang mempesoalkannya.
Hal senada, seorang dokter yang mendapat kesempatan menjadi direktur suatu rumah sakit umum. Katakanlah seorang yang mempunyai reputasi tinggi dan telah terkenal luas sebagai ahli penyakit jantung. Mudah membayangkan bahwa situasi yang dihadapinya sebagai seorang dokter spesialis, seperti dalam menghadapi para penderita atau di ruang operasi, tentunya jauh berbeda dan lebih sederhana bila dibandingkan dengan situasi, jenis dan bentuk masalah, fungsi dan sebagainya yang dihadapinya seandainya dokter spesialis yang bersangkutan berperan sebagai direktur rumah sakit. Suatu rumah sakit terdiri dari sekian banyak satuan kerja, dengan jumlah tenaga medis dan non medis yang besar, aneka ragam sarana dan prasarana yang harus dikelola, bermacam-macam sifat dan kebutuhan klien yang harus dilayani dan sebaginya.
Sesungguhnya tidak sulit untuk memberikan contoh-contoh lain tentang betapa kurang relevannya pengetahuan yang spesialistik dalam menjalankan peranan dan fungsi-fungsi kepemimpinan dibandingkan dengan pengetahuan yang generalistik, baik dari kehidupan nyata di lingkungan organisasi politik, pemerintahan, bisnis dan organisasi kemasyarakatan lainnya

B.     Kemampuan Bertumbuh dan Berkembang
       Sesungguhnya tersirat dari hal-hal yang telah dikemukakan di atas ialah bahwa dalam banyak situasi dan dalam banyak organisasi, sering tidak ada pilihan kecuali menempatkan tenaga-tenaga spesialis dalam berbagai posisi kepemimpinan. Banyak alasan mengapa banyak organisasi bertindak demikian. Beberapa di antaranya ialah :
  1. Mungkin saja kebijaksanaan yang dianut oleh organisasi dalam mengisi lowongan manajerial yang terdapat dalam organisasi ialah dengan cara mempromosikan tenaga-tenaga yang sudah ada dalam organisasi, suatu teori dan kebijaksanaan di bidang sumber daya manusia. Tidak sedikit organisasi yang menganut kebijaksanaan demikian karena memang banyak segi-segi positifnya, lima di antaranya diidentifikasikan berikut ini:
a.       Dampak psikologis yang sangat positif karena tenaga-tenaga yang dipandang cakap dan mampu diberi kesempatan meniti karier manajerial dan dengan demikian meningkatkan pengabdiannya kepada organisasi.
b.      Semakin terbukanya kemungkinan untuk mengembangkan, menyalurkan dan memanfaatkan berbagai potensi yang terdapat dalam organisasi.
c.       Tidak diperlukan biaya yang besar untuk merekrut tenaga-tenaga manajerial di luar organisasi, misalnya di pasar kerja atau di lembaga-lembaga pendidikan.
d.      Hemat waktu dan dana, karena perekrutan tenaga internal tidak perlu lagi mengeluarkan waktu maupun dana untuk orientasi, akulturasi dan sebagainya agar mereka mempunyai persepsi yang sama tentang berbagai hal yang menyangkut kehidupan organisasional.
e.       Tidak terjadi kekosongan yang pada gilirannya dapat mengakibatkan terjadinya disrupsi dalam penyelenggaraan kegiatan organisasi.

  1. Pengamatan pimpinan puncak yang memberikan keyakinan bahwa tenaga-tenaga spesialis tersebut mempunyai bakat dan potensi untuk menduduki jabatan-jabatan kepemimpinan dengan bekal tambahan melalui pendidikan dan latihan di bidang administrasi dan manajemen tanpa banyak kesulitan, akan memungkinkan para tenaga spesialis itu mampu berperan selaku pimpinan yang efektif, baik karena persepsinya yang berubah dari inkrementalistik atau atomistic menjadi persepsi yang holistic, maupun karena perluasan wawasannya.

  1. Tidak tersedia atau sulitnya memperoleh tenaga-tenaga pimpinan dari luar yang biasanya dapat diatasi dengan mengambil dua langkah. Pertama, membajak tenaga-tenaga pimpinan yang bekerja pada organisasi lain. Kedua, dengan iming-iming dalam bentuk imbalan financial dan non financial.  Dua masalah utama yang dapat timbul apabila tindakan demikian diambil ialah:
a.       Belum tentu organisasi yang membutuhkan tenaga-tenaga pimpinan itu memiliki kemampuan untuk mengambil kedua tindakan tersebut.
b.      Seandainya terdapat kemampuan pun, harus diperhitungkan dampak negatifnya terhadap sikap dan perilaku para anggota organisasi yang sudah menunjukkan kesetiaan, dedikasi dan kemampuannya kepada organisasi tetapi tidak memperoleh imbalan yang serupa.

C.    Sifat Yang Inkuisitif
Sifat inkuisitif, atau rasa ingin tahu, merupakan suatu sikap yang mencerminkan dua hal, yaitu: pertama, tidak merasa puas dengan tingkat pengetahuan yang telah dimiliki, kedua,kemauan dan keinginan untuk mencari dan menemukan hal-hal baru.  Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sifat inkuisitif merupakan kelanjutan dari atau manifestasi dari kemampuan bertumbuh dan berkembang.
Pertama, dengan berusaha mendalami factor-faktor penyebab keberhasilan, termasuk cara-cara yang digunakan dalam pemecahan masalah, menghilangkan ancaman dan gangguan serta menghilangkan rintangan dengan tetap memperhatikan dalam situasi dan kondisi yang bagaimana cara-cara yang membuahkan keberhasilan itu digunakan. Kedua, mengenali secara tepat faktor-faktor penghalang yang mengakibatkan kekurang berhasilan atau bahkan mungkin kegagalan di masa lalu.
Dalam kaitannya dengan peningkatan efektivitas kepemimpinan, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi akan mutlak perlu dipahami terutama menyangkut pemanfaatan SDM, perilaku oreganisasi, teknik berkomunikasi secara efektif dan sebagainya.

D.    Kemampuan Analistik
Berbagai teori tentang kepemimpinan yang efektif dan pengalaman banyak orang menunjukkan bahwa efektifitas kepemimpinan seseorang tidak lagi terletak pada kemampuannya untuk melaksanakan kegiatan yang bersifat teknis operasional, melainkan pada kemampuanya untuk berfikir.
Kehadiran berbagai satuan kerja dalam suatu organisasi justru semakin menunjukkan pentingnya pendekatan dan paradigma yang holistik karena hanya dengan demikianlah interaksi dan interrelasi antara berbagai satuan kerja tersebut dapat ditumbuhkan dan dipelihara sehingga terwujud hubungan yang sifatnya symbiosis mutualis.
Kemampuan analitik harus tercermin pada kemampuan diagnostik dan prognosa yang tepat sehingga tindakan yang diambil dalam bentuk keputusan yang merupakan inti kepemimpinan  benar  benar menghilangkan sumber permasalahan dan tidak sekedar mengatasi gejala-gejala yang nampak dengan segera.

E.     Daya Ingat Yang Kuat
Literatur yang ada tentang teori kepemimpinan tidak terdapat petunjuk yang dapat digunakan untuk menarik kesimpulan bahwa seorang pemimpin harus seorang jenius. Tetapi kemampuan intelektualnya haruslah berada di atas kemampuan rata-rata orang yang dipimpinnya.
Ada teori yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang pernah didengar dan dilihat oleh seseorang sesungguhnya terus tersimpan di otaknya. Jika demikian  maka salah satu manifestasi daya ingat yang kuat  ialah kemampuan”mengangkat” kembali informasi yang tersimpan di bawah sadar ke permukaan, kemudian digunakan untuk kepentingan tertentu. Memang benar bahwa alat-alat bantu tertentu, seperti  komputer, dewasa ini tersedia guna membantu seseorang mengumpulkan dan menyimpan informasi yng diperlukan dalam jumlah  sangat besar yang sekaligus mampu membantu dalam penelurusan kembali informasi tersebut dengan akurasi dan kecepatan yang tinggi. Terlepas dari tingkat kecanggihan komputer dewasa ini danyang akan datang  baik ditinjau dari sudut kemampuannya mengolah banyak pekerjaan  maupun dilihat dari segi pandangan kecepatannya,”prinsip” “Garbage In Garbage Out” (GIGO) kiranya akan tetap berlaku.




F.     Kapasitas Integratif
Semua satuan kerja yang ada dalam organisasi yang biasanya tergambar pada organogram sudah barang tentu memainkan peranan tertentu dalam rangka memberikan saham dan sumbangan ke arah tercapainya tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Atas dasar persepsi demikian sering timbul perilaku yang seolah-olah melahirkan tuntutan dan berhak memperoleh”porsi” yang lebih besar. Perkembangan persepsi demikian tidak serta merta harus direndam, apalagi bila didasarkan kepada rasa pengabdian, kesetiaan dan tekad yang tinggi untuk bekerja sebaik mungkin demi kepentingan organisasi sebagai keseluruhan. Masalah bisa timbul apabila persepsi seperti itu berkembang sebagai akibat pandangan yang “ unit oriented” sehingga:
a.       Menimbulkan persaingan yang tidak sehat (internal rivalry) antara berbagai satuan kerja dalam organisasi.
b.      Meremehkan peranan dan sumbangsih yang dapat diberikan oleh satuan-satuan kerja yang lain.
c.       Melupakan bahwa dalam satu organisasi yang kompleks selalu terjadi interaksi sebagai akibat dan tuntuttan dari interdepedensi antara satu unit dengan unit lain yang bersifat symbiosis mutualis.

Berdasarkan uraian di atas secara aksiomatik bahwa suatu organisasi modern yang kompleks hanya akan mencapai tujuannya dengan tingkat efisiensi, efektivitas dan produktivitas yang tinggi apabila organisasi tersebut dikelola dengan pendekatan kesisteman. Mengelola suatu organisasi  dengan pendekatan kesisteman pada dasarnya berarti bahwa satuan-satuan kerja dalam organisasi merupakan subsistem dari satu totalitas meskipun tiap-tiap satuan kerja mempunyai fungsi, tanggung jawab dan kegiatan yang bersifat khas yaitu:
1.      Penunjukan satuan kerja tertentu sebgai satuan kerja starategik tidak mengurangi, apalagi menghilangkan, peranan, fungsi, tanggung jawab dan kegiatan satuan-satuan kerja yang lain.
2.      Predikat “Satuan Kerja Strategik” tidak bersifat permanen karena apabila terjadi pergeseran skala prioritas kerja organisasi, pasti terjadi pula perubahan dalam penunjukan satuan kerja strategik.

G.    Ketrampilan Berkomunikasi Secara Efektif
Dalam kehidupan organisasional terdapat empat jenis fungsi komunikasi, yaitu: fungsi motivasi, fungsi ekspresi emosi, fungsi penyampaian informasi dan fungsi pengawasan.
Peranan komunikasi untuk mendorong atau memotivasi bawahan agar mau bekerja secra maksimal untuk membantu tercapainya tujuan organisasi
Kemudian komunikasi sebagai alat ekspresi emosi dalam suatu organisasi harus mampu memainkan dua peranan penting. Pertama, sebagai wahana untuk menyampaikan keluhan untuk  pimpinan dengan harapan menjadi pendengar yang baik. Kedua, sebagai saluran menyatakan kepuasan atas keberhasilannya menyelesaikan tugas yang dipercayakan kepadanya.
Fungsi lain dari komunikasi ialah sebagai wahana penyampaian informasi yang di perlukan oleh berbagai pihak untuk memperlancar jalannya proses pengambilan keputusan.
Fungsi terakhir komunikasi adalah selaku pengendali perilaku para anggota komunikasi dalam proses pengawasan yang harus dilakukan oleh seorang pimpinan dalam organisasi.
H.    Ketrampialn Mendidik
Setiap pejabat pimpinan adalah seorang pendidik, diartikan secara luas, tidak terbatas hanya pada cara-cara menddik yang ditempuh secara formal. Misalnya, jika seorang pimpinan melihat seorang bawahannya melaksanakan tugas dengan cara yang tidak atau kurang tepat, seorang juru tik misalnya, dan menunjukkan cara yang benar, pimpinan yang bersangkutan sesungguhnya telah melakukan peranan sebagai pendidik.
Jelaslah bahwa kemampuan menggunakan setiap kesempatan untuk meningkatkan kemampuan bawahan, mengubah sikap dan perilakunya dan meningkatkan dedikasinya kepada organisasi merupakan pencerminan peranannya sebagai seorang pendidik.

I.       Rasionalitas
Sebagian besar waktu bagi para eksekutif digunakan untuk berpikir yang ada kaitannya dengan proses manajemen, hasil pemikiran para pimpinan itu terlihat pada:
1.      Sifat, bentuk dan jenis tujuan serta berbagai sasaran yang ditetapkan untuk dicapai,
2.      Sifat, bentuk dan jenis strategi organisasi sebagai titik tolak dan pedoman penyelenggaraan kegiatan operasional.
3.      Sifat, bentuk dan jenis rencana korporasi (corporate plan) yang disusun berdasarkan strategi dasar yang telah ditentukan sebelumnya.
4.      Sifat, bentuk dan jenis program kerja yang ditetapkan untuk dilaksanakan dalam  kurun waktu tertentu.
5.      Bentuk, tipe dan susunan organisasi yang digunakan sebagai wahana dan wadah menyelenggarakan berbagai kegiatan.
6.      Filsafat dan bentuk-bentuk motivasi, baik dalam bentuk upah dan gaji maupun dalam berbagai bentuk non financial, dalam usaha mendorong para anggota organisasi untuk meningkatkan kemampuan kerja, disiplin, kesetiaan dan dedikasi kepada tugas serta   organisasi yang pada gilirannya meningkatkan efisiensi, efektivitas dan produktivitas organisasi sebagai keseluruhan,
7.      Gaya manajerial yang digunakan dalam mendorong terselenggaranya tugas-tugas operasional dengan sebaik-baiknya
8.      Bentuk, teknik dan jenis-jenis pengawasan guna lebih menjamin:
a.       Terselenggaranya berbagai kegiatan operasional di segala bidang sesuai dengan rencana dan program kerja yang telah ditetapkan sebelumnya.
b.      Dideteksinya kemungkinan penyimpangan sedini mungkin sehingga penyimpangan itu dapat dicegah dan apabila sempat terjadi, dapat diambil langkah-langkah untuk sejauh mungkin memperkecil dampak negative dari penyimpangan tersebut serta menentukan langkah-langkah yang perlu diambil untuk menindak para pelakunya
9.      Bentuk dan mekanisme penilaian hasil pekerjaan sehingga dapat terjamin objektivitas yang maksimal
10.  Penciptaan suatu sistem umpan balik yang memungkinkan pimpinan puncak mengambil  langkah-langkah yang lebih tepat dalam proses manajerial selanjutnya.
Kesemuanya itu berarti bahwa setiap pejabat pimpinan harus mampu berpikir dan bertindak  rasional dalam bersikap serta interaksi dengan berbagai pihak.


J.      Obyetivitas
Perlu ditekankan bahwa kemampuan pemimpin memainkan peranan selaku bapak bagi para bawahan bahwa dalam menjalankan peranan selaku seorang bapak dan penasehat bagi para bawahan, sikap adil dan obyektiftivitas para pejabat pimpinan menjadi kriteria utama.

Tiga contoh dibawah ini membuktikan kebenaran pendapat di atas. Pertama: Keadilan dalam sistem pengupahan dan penggajian. Jika da tenaga baru, yang lulus dari satu lembaga pendidikan tinggi yang terkenal dan yang bersangkutan sendiri memang dianggap ahli, serta merta mendapat imbalan ang melebihi imbalan yang diterima oleh orang-orang lain yang melakukan pekerjaan sejenis dan telah lebih lama berada dalam organisasi, hal itu akan dipandang sebagai suatu tindakan yang tidak adil yang dapat merusak citra objektivitas pejabat pimpinan yang memberikan imbalan itu.

Kedua: objektivitas dalam hal promosi. Telah umum diakui bahwa dalam organisasi yang baik berlaku prinsip meritokrasi yang pada dasarnya berarti bahwa berbagai jenis penghargaan, termasuk promosi diberikan berdasarkan penilaian yang objektif atas prestasi kerja dan faktor-faktor lain seperti kesetiaan, dediksi, disiplin dan senioritas dari orang yang dipertimbangkan untuk dipromosikan. Salah satu keunggulan meritokrasi ialah kemampuannya menggabungkan prinsip-prinsip meritokrasi dengan senioritas, khususnya dalam hal mempromosikan orang. Empat ramifikasi utama dari promosi ialah :
a.       Meningkatnya pendapatan
b.      Lebih besarnya wewenang
c.       Lebih tingginya status
d.      Terbukanya kesempatan yang lebih luas untuk semua pegawai/karyawan

Ketiga: penyelesainnya situasi konflik. Bukanlah merupakan hal yang aneh apabila dalam suatu organisasi timbul suatu konflik, baik antara idividu maupun antar kelompok dalam organisasi Dalam menyelesaikan konflik pimpinan harus adil dan obyektif dalam menilai permasalahannya..

K.    Pragmatisme
Sikap pragmatik berarti bahwa seseorang harus berpikir realistik, tetapi tetap punya harapan dan cita-cita, sehingga termotivasi untuk maju,  bukan mudah menyerah. Dalam kehidupan organisasional, sikap yang pragmatik biasanya terwujud dalam bentuk sebagai berikut:
1.      Kemampuan menentukan tujuan dan sasaran yang berada dalam jangkauan kemampuan untuk mencapainya yang berarti menetapkan tujuan dan sasaran yang realistik tanpa melupakan idealisme.
2.      Menerima kenyataan apabila dalam perjalanan hidup tidak selalui meraih hasil yang diharapkan.

L.     Kemampuan Menentukan  Peringkat Prioritas
Salah satu konsekuensi dari kenyataan bahwa suatu tujuan jangka panjang organisasi bersifat abstrak sedangkan sasaran bersifat kongrit, tidak mungkin melakukan semua kegiatan yang seyogyanya dilaksankan dengan intensitas yang sama karena keterbatasan berbagai sumber daya. Berarti selalu ada keharusan untuk menentukan skala prioritas sasaran tertentu. Pergeseran peringkat bisa terjadi dari satu waktu ke waktu berikutnya yang dipengaruhi oleh beberapa faktor dari hasil analisis secara cermat.
Para ahli pemikir mengembangkan teknik analisis yang dikenal dengan analisis SWOT (strength-weaknes-opprtunity-threats = kekuatan-kelemahan-peluang-ancaman). Hasil analisis digunakan oleh para pejabat pimpinan mengambil keputusan terrmasuk menentukan peringkat prioritas.

M.   Kemampuan Membedakan Yang Urgen Dan Yang Penting
Titik tolak yang biasanya digunakan untuk menentukan kategorisasi kegiatan organisasional menjadi urgen dan penting ialah bahwa sesuatu yang urgen harus segera diselesaikan, keterlibatan langsung pimpinan yang bersangkutan mungin tidak diperlukan. Sebaliknya, sesuatu yang dikategorikan sebagai hal penting mempunyai sifat-sifat seperti:
1.      Merupakan hal baru bagi organisasi
2.      Memerlukan pendekatan khusus
3.      Tidak ditampung oleh struktur yang ada
4.      Tidak terdapat keterampilan melaksanakannya di kalangan para bawahan.

Sifat-sifat demikian berarti bahwa untuk pelaksanaan sesuatu hal yang dipandang penting, faktor kecepatan bukan merupakan faktor yang menentukan, melainkan ketelitian dan pemikiran yang matang

N.    Naluri Tepat Waktu
Sering bahwa keberhasilan seorang pimpinan dalam menyelenggarakan fungsi-fungsi kepemimpinannya sangat ditentukan oleh kemampuannya memilih waktu yang tepat untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Jika suatu masalah tidak dipecahkan pada waktu yang tepat, dua kemungkinan besar terjadi.
Pertama, cara pemecahan yang ditempuh tidak tepat. Kedua, masalah berkembang sedemikian rupa sehingga pemecahannya di masa depan menjadi semakin sulit.

O.    Rasa Kohesi Yang Tinggi
Pembahasan tentang penyelenggaraan fungsi kepemimpinan selaku mediator bahwa keberhasilan mengatasi suatu situasi konflik dapat berakibat pada meningkatnya rasa “senasib sepenanggungan” antara para anggota organisasi. Hal demikianlah yang sesungguhnya yang dimaksud dengan kohesi organisasional dalam hubungannya dengan para anggota  memiliki rasa solidaritas organisasional yang tinggi yang pada gilirannya mempermudah usaha peningkatan kerja sama terlepas dari hirarki, struktur, pembagian tugas dan pola pendelegasian wewenang yang terdapat dalam organisasi yang bersangkutan

P.     Rasa Relevansi Yang Tinggi
Tingkat relevansi yang tinggi sangat penting,  banyak tenaga, waktu, biaya dan sarana harus dimanfaatkan seefektif dan seefisien mungkin, berarti pimpinan dituntut bertindak dan berpikir tentang  hal hal yang dikerjakan atau diputuskan mempunyai relevansi yang tinggi dengan upaya pencapaian tujuan. Memang harus diakui bahwa dalam kehidupan manjerial seseorang, ia pasti terlibat dalam berbagai kegiatan yang sifatnya menunjang kelangsungan organisasi. Misalnya menunaikan kewajiban sosial  seperti menghadiri pesta pernikahan anak relasi penting, menghadiri jamuan makan, menghadiri resepsi ulang tahun, berolahraga dengan klien tertentu, merupakan beberapa contoh dari kegiatan penunjang dan periferal yang dimaksud.

Q.    Keteladanan
Efektivitas kepemimpinan seseorang akan lebih besar bila keteladananya tidak hanya tercermin dalam kehidupan organisasional, akan tetapi juga dalam kehidupan pribadinya, seperti kehidupan keluarga yang harmonis, gaya hidup yang sesuai dengan kemampuan dengan memperhitungkan keadaan lingkungan dan kepekaan terhadap kondisi sosial disekitarnya.
Keteladanan sangat penting karena bawahan sesungguhnya menggunakan kriterion yang sangat mendalam, yaitu: keteladanan seseorang terlihat dari apa yang dilakukan oleh seseorang dan bukan apa yang dikatakannya. Keteladanan antara lain berarti melakukan apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan, baik karena keterikatan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku maupun karena limitasi yang ditentukan oleh nilai moral, etika dan sosial.
Keterikatan seorang pimpinan kepada etika kerja pun merupakan salah satu unsur keteladanan yang sangat penting. Beberapa hal yang merupakan pencerminan dari etika kerja yang benar adalah:
a.       Perlakuan kepada bawahan secara manusiawi,
b.      Objektivitas dalam melakukan penilaian,
c.       Pengenaan sanksi yang bersifat mendidik,
d.      Janji dan ucapan yang dapat dipegang oleh orang lain,
e.       Gaya kepemimpinan yang demokratik dan lain sebagainya.
Salah satu ciri yang amat penting dalam kehidupan manajerial seseorang adalah kejujurannya. Kejujuran yang dimaksud adalah kejujuran kepada organisasi, kepada rekan setingkat, kepada atasan, kepada bawahan dan kepada diri sendiri.

R.    Menjadi Pendengar Yang Baik
Dalam kehidupan organisasional, setiap orang termasuk pejabat pimpinan, perlu:
1.      Mendengarkan perintah, instruksi, nasihat dan pengarahan dari atasanya,
2.      Mendengarkan saran, pandangan dan nasihat rekan-rekan setingkat,
3.      Memperoleh pengetahuan baru dari para ahli, baik yang berada didalam maupun yang di luar organisasi,
4.      Mendengarkan para bawahan yang ingin menyampaikan saran dan pendapat, bahkan juga mungkin keluhan dan masalah yang dipandangnya tidak dapat dipecahkannya sendiri.
Kesemuanya itu berarti bahwa seorang pimpinan perlu melatih diri menjadi pendengar yang baik. Tanpa membedakan untuk maksud apa seseorang perlu mendengar orang lain, sepuluh hal berikut ini diperlukan agar seseorang menjadi pendengar yang efektif.
1.      Berhentilah bicara karena seseorang tidak akan dapat mendengarkan dengan baik pada waktu ia bicara.
2.      Timbulkan suasana yang memungkinkan orang yang berbicara melakukannya dalam suasana bebas tanpa diliputi oleh rasa takut.
3.      Mununjukkan kepada orang yang sedang bicara bahwa anda ingin mendengarkan hal-hal yang ingin disampaikannya.
4.      Jauhkan hal-hal yang mungkin menjadi distraksi.
5.      Tumbuhkan rasa empati, dalam arti bahwa anda dapat menempatkan diri pada posisi orang yang sedang berbicara itu.
6.      Bersikap sabar dalam arti sediakan waktu yang cukup untuk mendengarkannya dan pendengar hendaknya jangan melakukan interupsi dalam bentuk apapun.
7.      Pendengar hendaknya jangan emosional, apalagi marah, karena seorang yang sedang marah akan menginterprestasikan kata-kata orang lain dengan salah atau tidak tepat.
8.      Pendengar yang baik tidak akan beradu argumentasi dengan pembicaraan dan tidak pula akan melemparkan kritik terhadap apa yang dikatakannya.
9.      Pendengar sebaiknya mengajukan pertanyaan,misalnya,untuk kejelasan yang sekaligus berarti ia adalah seorang pendengar yang betul-betul menaruh minat pada hal yang sedang dibicarakan.
10.  Berhenti bicara, sebagai pedoman pertama dan terakhir untuk menjadi pendengar yang efektif.

S.      Adaptasi
Efektivitas kepemimpinan seseorang memerlukan sikap adaptif, yaitu menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dihadapiya tanpa mengabaikan prinsip dan aturan yang berlaku. Beberapa contoh perwujudan adaptabilitas demikian adalah :
1.      Seseorang pimpinan tidak akan mudah melakukan generalisasi, melainkan melihat setiap situasi sebgai hal yang khas,
2.      Dalam memecahkan masalah, ia tidak akan terperangkap oleh cara pemecahan tertentu hanya karena cara tersebut pernah digunakannya di masa lalu dan dinilai membuahkan pemecahan yang diharapkan,
3.      Dalam berkomunkasi dengan orang lain, gaya, teknik dan bahasa yang digunakan disesuaikan dengan tingkat pengetahuan, kedewasaan dan kondisi dengan siapa seseorang berkomunikasi.

T.     Fleksibilitas
Sikap adaptif adalah sikap yang luwes (fleksibel), berarti mampu melakukan perubahan dalam cara berpikir, cara bertindak, sikap dan perilaku agar sesuai dengan tuntutan situasi kondisi tertentu yang dihadapi tanpa mengorbankan prinsip-prinsip hidup yang dianut oleh seseorang. Akan tetapi pengamatan yang amat kasual sekalipun akan menunjukkan bahwa:
1.      Keterlambatan seseorang bawahan belum tentu seluruhnya karena kesalahan bawahan yang bersangkutan,
2.      Faktor penyebab keterlambatan itu  tidak akan selalu sama

Berarti bahwa sebelum mengenakan tindakan disiplin terhadap pegawai yang terlambat, perlu diteliti terlebih dahulu mengapa pegawai tersebut terlambat, apalagi kalau terjadi berualang kali. Tidak mustahil bahwa penelitian yang dilakukan akan menunjukkan bahwa:
1.      Pegawai yang bersangkutan terlambat karena adanya pembagian tugas yang tidak merata
2.      Kurangnya pekerjaan sehingga kehadiran penuh di tempat kerja memang tidak diperlukan
3.      Faktor jarak antara tempat tinggal dengan tempat kerja,
4.      Sistem angkutan yang tidak mendukung kehadiran tepat pada waktunya,
5.      Adanya masalah-masalah pribadi atau keluarga yang berpengaruh pada kehadirannya di tempat kerja, dan lain sebagainya.
Berusaha untuk mengetahui terlebih dahulu alasan sebenarnya mengapa seorang bawahan datang terlambat merupakan salah satu bentuk fleksibilitas seorang pimpinan. Dalam kegiatan memimpin banyak hal dan peristiwa yang menuntut fleksibilitas.

U.    Ketegasan
Ketegasan diperlukan dalam menghadapi situasi propbematik, terutama yang tim bul karena disiplin kerja yang rendah. Jikau saha pembinanaan dan pengarahan tidak mendatangkan hasil yang diharapkan, sudah barang tentu punitif harus diambil. Akan tetapi agar tindakan punitif itu diterima oleh orang-orang yang dikenakan tindakan tersebut dapat menerimanya secara ikhlas. Keadaan demikian hanya akan terwujud apabila:
1.      Tindakan punitif itu didasarkan atau kriteria yang objektif yang sama-sama diketahui baik oleh yang menindak maupun oleh yang ditindak,
2.      Tindakan punitif itu telah didahului oleh tindakan-tindakan lain yang tidak punitif, seperti pengarahan, teguran dan peringatan,
3.      Bobot tindakan adil, dalam arti dikenakan pada tingkat dan bentuk yang sama kepada semua orang yang melakukan kesalahan serupa,
4.      Tindakan yang diambil bersifat mendidik.

V.    Keberanian
Salah satu cirri kehidupan manajerial ialah terdapat berbagai jenis risiko dalam mengemudikan dan menjalankan roda organisasi. Risiko dapat timbul karena faktor-faktor intern maupun  ekstern. Timbulnya resiko tertentu berkaitan erat dengan kenyataan bahwa ciri utama masa depan yang dihadapi dalam kehidupan organisasional adalah ketidakpastian.
Akan tetapi ketidakpastian membenarkan sikap yang ragu-ragu. Perlu ditekankan bahwa bertindak ragu-ragu tidak identik dengan bertindak asal jadi. Artinya, risiko yang diambil harus  didasarkan atas perhitungan yang matang yang menyangkut, antara lain:
1.      Bentuk dan sifat keadaan yang diperkirakan akan dihadapi di masa yang akan datang sedapat mungkin dengan mengkaitkannya pada satu kurun waktu tertentu,
2.      Ancaman yang mungkin timbul
3.      Gangguan dan hambatan yang perlu dihilangkan
4.      Perubahan sosial, politik, ekonomi dan keamanan yang mungkin timbul
5.      Peluang yang diperkirakan timbul dan perlu dimanfaatkan,
6.      Daya tahan organisasi berdasarkan kemampuan yang sekarang dimiliki

W.  Orientasi Masa Depan
Pentingnya mengenali masa lalu organisasi terlihat pada pengetahuan dan persepsi yang tepat tentang dua hal, yaitu: keberhasilan yang diraih beserta faktor-faktor pendukungnya dan kekurangan keberhasilan bahkan mungkin kegagalan  beserta faktor-faktor penyebabnya. Makasudnya adalah untuk belajar dari pengalaman masa lalu itu agar:
1.      Keberhasilan dijadikan modal untuk  terus dikembangkan,
2.      Kekurangan keberhasilan atau kegagalan dijadikan bahan pelajaran agar kesalahan yang pernah diperbuat dimasa lalu tidak terulang kembali.

Berdasarkan kedua hal itulah masa depan organisasi direncanakan. Agar dapat merencanakan masa depan yang diinginkan dengan baik, perlu diperkirakan secara tepat empat hal, yaitu:
1.      Kekuatan yang dimiliki organisasi, misalnya dalam bentuk dan jenis keunggulannya dibandingkan dengan organisasi lain yang bergerak dalam bidang yang sama;
2.      Kelemahan yang mungkin secara inheren dan atau artifisial melekat pada tubuh organisasi;
3.      Kepentingan berbagai pihak yang menjadi “ stakeholders” bagi organisasi, yaitu semua pihak yang berkepentingan dalam keberhasilan organisasi mencapai tujuan dan berbagai sasarannya;
4.      Perkembangan dan perubahan yang diperkirakan akan timbul dalam berbagai bidang seperti bidang politik, ekonomi, keamanan, pendidikan, dan teknologi, terutama perkembangan dan perubahan yang mempunyai dampak langsung bagi organisasi yang bersangkutan.

X.    Sikap Yang Antisipatif dan Proaktif
Salah satu sikap yang perlu dipupuk dan dikembangkan dalam merencanakan masa depan yang diinginkan adalah sikap antisipatif dan proaktif meliputi:
1.      Mengenali berbagai hal yang berpengaruh terhadap organisasi yang sekarang dominan dampaknya terhadap organisasi dan memperhitungkan sifat dampak tersebut dimasa depan.
2.      Mampu mengidentifikasikan perkembangan-perkembangan yang sedang terjadi dan menganalisis apakah perkembangan itu bersifat sementara atau \permanen.
3.      Mampu melihat kecenderungan dengan sasaran-sasaran yang ingin dicapai
4.      Tidak sekedar memberikan reaksi terhadap situasi problematik yang timbul, akan tetapi mampu memperhitungkan yang akan timbul  mungkin tidak menguntungkan bagi organisasi.
5.      Mampu berpikir dan bertindak proaktif dalam arti tidak sekedar mampu menampung berbagai akibat dari perkembangan yang terjadi, akan tetapi justru mampu mempengaruhi arah perkembangan dan perubahan itu agar tidak berpengaruh negatif bagi organisasi.

Keberhasilan seseorang dalam jabatan kepemmpinannya sangat tergantung pada sampai sejauh mana yang bersangkutan berhasil memiliki ciri-ciri ideal tersebut dan kemampuannya memilih ciri mana yang tepat ditonjolkan dalam menghadapi situasi, kondisi, waktu dan ruang tertentu untuk mendukung gaya kepemimpinan tertentu.















BAB V
 ANALISIS KEPEMIMPINAN
BERDASARKAN PERILAKU

Dinamika manusia yang kemudian menampakan diri pada dinamika organisasi dan dinamika masyarakat sebagai keseluruhan merupakan salah satu faktor pendorong bagi berbagai jenis kemajuan yang dicapai oleh umat manusia. Dorongan untuk maju timbul karena hasrat dan keinginan manusia untuk meningkatkan kamampuan untuk memuaskan bebagai jenis kebutuhannya yang semakin lama semakin kompleks.

Cara terbaik untuk memuaskan berbagai kebutuhannya ialah dengan menggunakan berbagai jalur organisasi karena itulah manusia modern sering di sebut sebagai manusia organisasional. Semakin komplek kebutuhan seseorang semakin banyak organisasi yang dimasukinya. Baik di bidang politik, ekonomi, pendidikan, agama,  sosial, dan bahkan olahraga.

Dalam hubungan organisasi dengan para anggotanya sering dirumuskan bahwa hak organisasi yang diperolehnya melalui penunaian kewajiban oleh para anggotanya dan sebaliknya hak para anggota organisasi merupakan kewajiban organisasi untuk memenuhinya. Pandangan demikian biasanya mengejawantah pada tuntutan adanya kepemimpinan yang demogratif dalam organisasi yang bersangkutan.

Salah satu cara yang sudah sejak lama digunakan oleh para ilmuan untuk mendalami faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas kepemimpinan adalah dengan menganalisis kepeminpinan berdasarkan cirri-ciri kepemimpinan. Teori kepemimpianan berdasarkan cirri-ciri ternyata tidak lepas dari kelemahan. Diantaranya ialah adanya asumsi bahwa jika seorang pemimpin memiliki cirri-ciri tersebut ia dengan sendirinya akan menjadi pemimpin yang afektif. Tidak demikian halnya karena teori kepemimpianan berdasarkan cirri-ciri terlalu menekankan pandangan bahwa bakat yang dibawa sejak lahir merupakan jaminan keberhasilan seseorang menyelenggarakan fungsi-fungsi kepemimpinannya. Kenyatakan menunjukkan meskipun bakat memang sangat penting, bakat bukan segalanya.

Kelemahan lain teori kepemimpinan berdasarkan cirri-ciri ialah terdapat pandangan bahwa keperhasilan seorang memimpin satu organisasi sudah merupakan keberhasilan memimpin organisasi yang lain, meskipun fungsi, tujuan, misi, sasaran dan kegiatannya berbeda. Padahal setiap organisasi memiliki ciri-ciri khas. Pandangan ilmiah dewasa ini bahwa keberhasilan seorang pemimpin satu organisasi memang merupakan modal penting baginya apabila ia ditempatkan pada posisi manajerial pada organisasi yang lain, akan tetapi dengan modal demikian yang bersangkutan masih dituntut untuk melakukan penyesuaian tertentu sesuai dengan kekhasan organisasi baru yang dipimpinnya.

Para peneliti secara teoritis kemudian berusaha mencari pendekatan lain ialah analisis kepemimpianan berdasarkan perilaku manajerial. Ketika para ahli mulai mencari model alternatif bagi kepemimpinan yang efektif, timbul harapan bahwa melalui berbagai penelitian dan eksperimen akan memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang hakikat kepemimpinan yang pada giliranya menunjukkan perbedaan yang mencolok antara teori berdasarkan perilaku dengan teori kepemimpinan berdasarkan ciri. Hanya ada dua penelitian yang menonjol yang sering dikutip dalam literlatur tentang kepemimpinan yang akan diketengahkan.

  1. Studi Kepemimpinan Berdasar Prakarsa Struktur Dan Perhatian
Studi ini berdasarkan pada pemikiran bahwa efektivitas kepemimpinan seseorang terlihat pada dua jenis perilaku dalam menyelegarakan tugas kepemimpinannya. Pertama ialah sampai sejauh mana seorang pemimpin memberikan penekanan pada peranannya selaku pemrakarsa struktur tugas yang akan dilaksanakan oleh para bawahannya. Kedua ialah sampai sejauh mana dan dalam bentuk apa seorang pimpinan memberikan perhatian kepada bawahannya.

Untuk memperoleh gambaran selengkap mungkin, penelitian dimulai dengan identifikasi dimensi dalam jumlah yang sangat besar. Akhirnya berbagai dimensi dalam jumlah besar itu dikurangi dan dikategorikan, yaitu: dimensi pemrakarsa truktur dan perhatian pada bawahan. Pemrakarsa struktur ialah sejauh mana seorang pimpinan mendefinisikan dan menyusun struktur peranannya dan peranan bawahannya dalam usaha mencapai tujuan yang telah ditetapka sebelumnya, artinta sampai sejauh mana seorang pimpinan menonjolkan perananya dalam mengorganisasikan seperti:
1.      Tugas yang harus diselengarakan dalam organisasi
2.      Hubungan antra satu tugas dengan yang lain
3.      Penenkanan pada pentingnya kaitan tugas yang diselenggarakan dengan tujuan dan berbagai sasaran yang telah ditetapkan.

Seorang pimpinan dipandang sebagai faktor penentu dalam kehidupan berorganisasi. Posisi sentral pimpinan itu tidak berarti mengabaikan keberadaan orang lain yaitu para bawahan. Oleh karena itu bersamaan dengan peranan pimpinan selaku pemrakarsa struktur tugas dan perilaku kepemimpinan yang menyangkut sifat, bentuk dan intensitas perhatiannya terhadap para bawahannya
1.      Iklim saling percaya mempercayai
2.      Penghargaan terhadap ide bawahan
3.      Menperhitungkan perasaan para bawahan
4.      Perhatian pada kenyamanan kerja bagi para bawahan
5.      Perhatian pada kesejahteraan bawahan
6.      Pengakuan atas status para bawahan secara tepat dan profesional
7.      Memperhitungkan faktor kepuasan kerja para bawahan.        `
Penelitian menyoroti sampai sejauh mana efektivitas kepemimpinan seseorang dapat diwujudkan dengan perilaku yang bersahabat, mudah didekati dan objektif dalam memperlakukan bawahan. Pemimpin seperti itu ialah pemimpin dengan gaya yang demogratik.

  1. Perilaku Berdasarkan Orientasi Pada Bawahan Dan Produksi.
Sasaran yang ingin dicapai dengan studi ini berusaha mengidentifikasikan karakteristik perilaku kepemimpinan yang tampaknya berkaitan dengan evektivitasnya. Titik tolak konseptual dan paradigma yang berorientasi pada  “bawahan” dan “orientasi produksi”. Beberapa perwujudan perilaku pimpinan dengan orientasi bawahan ialah:
1.      Penekanan pada hubungan atasan dan bawahan
2.      Perhatian pribadi pimpinan kepada pemuasan kebutuhan para bawahannya.
3.      Menerima perbedaan kepribadian, kemampuan dan prilaku yang terdapat dalam diri para bawahan tersebut.
Pimpinan dengan orientasi produksi menunjukkan perilaku sebagai berikut:
1.      Cenderung menekankan segi-segi teknis dari pekerjaan yang harus dilakukan oleh para bawahan dan kurang dari segi manusianya.
2.      Pertimbangan utama diletakan pada terselenggaranya tugas, baik oleh para orang perorang dalam satuan kerja tertentu maupun oleh kelompok kerja yang terdapat dalam organisasi.
3.      Menempatkan pencapaian tujuan dan penyelesaian tugas di atas pertimbangan yang menyangkut unsur manusia  dalam.organisasi.

Kesimpulannya para pejabat pimpinan yang berorientasi pada bawahan  ternyata lebih efektif dalam menjalankan tugas kepemimpinannya dibandingkan dengan para pimpinan dengan orientasi pada produksi






























BAB VI
MODEL KEPEMIMPINAN
BERDASARKAN TEORI SITUASIONAL

Berbagai penelitian yang dilakukan oleh para ilmuan dan pengalaman banyak orang yang dipandang sukses dalam menjalankan tugas-tugas kepemimpinan memberikan keyakinan yang semakin mendalam bahwa peramalan tentang kemungkinan keberhasilan seseorang sebagai pimpinan ternyata jauh lebih rumit dari sekedar mengidentifikasikan ciri-ciri kepemimpinan tertentu.

Banyak usaha penelitian yang telah dilakukan untuk mencoba mencari jawaban terhadap pertanyaan di atas. Diantara berbagai faktor situasional yang ditemukan berpengaruh pada gaya kepemimpinan tertentu, antara lain ialah:
1.      Kompleksitas tugas yang harus diselenggarakan,
2.      Jenis pekerjaan, misalnya apakah bersifat rutin atau inovatif,
3.      Bentuk dan sifat teknologi yang digunakan,
4.      Persepsi, sikap dan gaya yang digunakan oleh para pejabat pimpinan yang menduduki hirarki jabatan yang lebih tinggi,
5.      Norma-norma yang dianut oleh kelompok kerja yang berada di bawah pimpinan yang bersangkutan,
6.      Rentang kendali yang paling tepat untuk diterapkan,
7.      Ancaman yang datang dari luar organisasi yang mesti dihadapi, misalnya dalam bentuk persaingan bagi suatu organisasi niaga,
8.      Tingkat stress yang mungkin timbul sebagai akibat beban tugas, tingkat tanggung jawab, desakan waktu dan faktor-faktor lainnya dapat menimbulkan ketegangan,
9.      Iklim yang terdapat dalam organisasi.

Faktor-faktor situasional yang diidentifikasikan di atas tidak lengkap karena per definisi situasi bersifat “cair” dalam arti dinamik dan oleh karenanya terus berkembang. Guna meningkatkan kemampuan para pejabat pimpinan mengenali berbagai faktor situasional yang menonjolkan ciri-ciri dan perilaku kepemimpina, dikembangkanlah berbagai model kepemimpinan.
Lima model yang dewasa ini dikenal luas diidentifikasikan dan dibahas secara singkat berikut ini:

1.      Model Kontinuum “Otokratik – Demokratik”
Apabila didunia ini hanya terdapat dua model kepemimpinan, yaitu yang otokratik di satu pihak dan yang demokratik di pihak lain, pendekatan yang diperlukan untuk menganalisis efektivitas kepemimpinan cukup dengan pendekatan keprilakuan saja. Dalam pengambilan keputusan, misalnya seorang pimpinan dengan gaya yang otokratik akan mengambil keputusan sendiri, kemudian menyampaikan keputusan tersebut kepada para bawahannya yang pada gilirannya diharapkan menjalankan keputusan tersebut. Sedangkan gaya demokratik keputusan ada ditangan anggota dan dipertaggungjawabkan bersama




Dikaitkan dengan pengambilan keputusan saja, kontinuum dimaksud dapat digambarkan sebagai berikut:
 






















2.      Model “ Interaksi Atasan – Bawahan”
Model ini berkisar pada pendapat yang mengatakan bahwa efektifitas kepemimpinan seseorang sangat tergantung pada prestasi kerja para bawahannya. Artinya gaya analisis yang digunakan menurut model ini memusatkan perhatian pada tiga kriteria situasional, yaitu:
a.       Hubungan atasan dengan bawahan
b.      Struktur tugas yang harus dikerjakan
c.       Posisi kewenangan seseorang

Yang jadi sasaran ialah agar terjadi keseimbangan antara situasi yang dihadapi dengan orientasi pimpinan yang kemudian tercermin dalam prilakunya. Peneliti terkenal bernama Fred Fielder meyakini bahwa salah satu kunci keberhasilan seorang pemimpin terletak pada gaya dasar kepemimpinannya. Fielder berpendapat bahwa berdasarkan pada jawaban para responden terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya, ia dapat menentukan gaya dasar seorang pemimpin.

Perlu ditekankan bahwa model ini tidak mengabaikan faktor situasional. Hanya saja dengan bertitik tolak dari pandangan bahwa gaya kepemimpinan seseorang sudah “fixed” terdapat tiga dimensi situasional yang perlu dipertimbangkan, yaitu:
1.      Hubungan atasan dengan bawahan dalam arti tingkat kepercayaan, rasa hormat dan kekaguman para bawahan terhadap atasan mereka
2.      Struktur tugas dalam arti sampai sejauh mana tugas-tugas yang harus dilaksanakan itu terstruktur atau tidak dan apakah disertai oleh prosedur yang tegas dan jelas atau tidak
3.      Posisi kewewenangan seseorang dalam arti tingkat pengaruh seorang pimpinan pada variabel-variabel wewenang seperti dalam hal pengangkatan dan pemberhentian pegawai, penegakan disiplin, promosi dan kenaikan upah dan gaji.
Nilai aplikatif teori atau model ini dalam praktek adalah demikian: seorang pimpinan akan menjadi seorang pimpinan yang efektif, apabila:
1.      Hubungan atasan dan bawahan dikategorikan “baik”
2.      Tugas yang harus dikerjakan oleh para bawahan disusun pada tingkat struktur yang “tinggi”
3.      Posisi kewenangan pimpinan yang besangkutan tergolong “kuat”

Sebaliknya suatu situasi yang kurang menguntungkan bagi seorang pimpinan bisa timbul apabila:
1.      Para bawahan tidak atau kurang menghormati pimpinan yang bersangkutan, apapun alasan mengapa situasi demikian timbul
2.      Tugas yang hendak dilaksanakan tidak terstruktur dengan kategori “tinggi” dan prosedur yang harus ditempuh pun tidak atau kurang jelas sehingga sangat terbuka terhadap persepsi dan interprestasi bawahan bersifat subjektif karena diwarnai oleh kepentingan-kepentingan yang sempit, seperti kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok kerja tertentu
3.      Pimpinan berada pada posisi kewenangan yang lemah, misalnya mengambil tindakan pendisiplinan terhadap mereka yang dalam melaksanakan tugasnya tidak memenuhi berbagai standar, norma dan hasil pekerjaan yang telah ditetapkan.
 



























Pertama: kategorisasi yang dibuatnya terlalu simplistik, padahal berbagai variabel situasi dan kondisi merupakan hal yang rumit dan oleh karenanya tidak selalu mudah untuk menilainya.

Kedua: model tersebut dapat dikatakan mengabaikan karakteristik para bawahan terhadap siapa ketiga variabel – yaitu sifat hubungan atasan – bawahan, tinggi rendahnya struktur tugas dan besar kecilnya wewenang – diterapkan.

Ketiga: model tersebut kurang memperhitungkan kemampuan teknologis, baik yang dimiliki oleh pimpinan maupun yang dimiliki para bawahan.

Keempat: korelasi yang digunakan oleh fielder dalam membela pendiriannya dapat dikatakan lemah karena meskipun harus diakui bahwa arah pemikiran dalam pengembangan model itu tidak dapat dikatakan salah, akan tetapi tidak didukung oleh analisis kolerasi yang tinggi dan yang secara statistik pun tidak dapat dikatakan signifikan.

Kelima: instrument penelitian yang digunakan, yang seperti dikatakan dimuka bertitik tolak dari pandangan seseorang tentang pihak lain dengan siapa seorang itu paling tidak senang bekerja sama, masih bisa dipertanyakan validitasnya sebab masih diwarnai oleh pandangan-pandangan yang sifatnya subjektif.

3.TEORI SITUASIONAL
Salah satu model kepemimpinan yang paling banyak digunakan dewasa ini adalah yang berdasarkan teori  situasional yang dikembangkan oleh Paul Hersey dan Ken Blanchard. Tergantung pada orientasi tugas kepemimpinan dan sifat hubungan atasan dan bawahan yang digunakan, gaya kepemimpinan yang timbul dapat mengambil empat bentuk, yaitu:
a.       Memberitahukan
b.      “Menjual”
c.       Mengajak bawahan berperan serta, dan
d.      Melakukan pendelegasian

Memberitahukan. Jika seorang pimpinan berperilaku memberithukan, hal itu berarti bahwa orientasi tugasnya dapat dikatakan tinggi dan digabung dengan hubungan atasan-bawahan yang tidak dapat digolongkan sebagai akrab, meskipun tidak pula digolongkan sebagai hubungan yang tidak bersahabat.

“Menjual”. Jika seorang pemimpin berprilaku “menjual” berarti ia bertitik tolak dari orientasi perumusan tugasnya secara tegas digabung dengan hubungan atasan-bawahan yang bersifat intensif.
Mengajak bawahan berperan serta. Perilaku seorang pimpinan dalam hal demikian ialah orientasi tugas yang rendah digabung dengan hubungan atasan-bawahan yang intensif.

Pendelegasian. Seorang pimpinan dalam menghadapi situasi tertentu dapat pula menggunakan perilaku berdasarkan orientasi tugas yang rendah digabung dengan intensitas hubungan atasan bawahan yang rendah pula.
Satu hal yang sangat menarik dalam teori ini ialah bahwa disamping membahas empat gaya pimpinan dalam menghadapi situasi tertentu, diketengahkan pula pandangan tentang empat tingkat kedewasaan para bawahan sebagai berikut:
K1 : berarti bahwa para bawahan dipandang tidak mampu dan tidak mau memikul tanggug jawab untuk berbuat sesuatu.
K2 : berarti para bawahan tidak mampu akan tetapi rela berbuat hal-hal yang perlu d lakukan agar tugas terselesaikan.
K3 : berarti para bawahan mampu tetapi tidak rela berbuat apa yang diinginkan oleh atasannya.
K4 :berarti para bawahan mampu dan rela menyelesaikan tugas-tugas yang dipercayakan kepada mereka.

Gaya Kepemimpinan
Tinggi
Perilaku Hubunganhubungan intensif dan orientasi tugas rendah
Peran serta






"Jual"
Hubungan intensif dan orientasi tugas tinggi

Delegasi
 




Hubungan tidak intensif dan orientasi tugas rendah

Orientasi tugas tinggi dan hubungan tdak intensif
Beritahukan
Rendah                                         Perilaku Tugas                                                  Tinggi                                     Tinggi
Dewasa 

Tinggi

Sedang

Tidak
Dewasa
Rendah

K1

K2

K3

K4

Kedewasaan Bawahan

Bagan di atas berusaha menunjukkan bahwa berbagai komponen yang dipertimbangkan diintegrasi sedemikian rupa sehingga terwujud satu model kepemimpinan yang sifatnya situasional seperti terlihat pada bagan:
a.       Semakin tinggi tingkat kematangan yang telah dicapai oleh para bawahan, pimpinan memberikan respons tidak saja dalam bentuk pengurangan pengawasan atas berbagai yang dilaksanakan oleh para bawahannya, akan tetapi juga mengurangi intensitas hubungannya dengan para bawahan tersebut.
b.      Pada tingkat kematangan yang masih rendah  yaitu K1  para bawahan memerlukan pengarahan yang jelas dan tegas serta spesifik sehingga tidak terdapat kekaburan dalam pelaksanaan tugas para bawahan yang bersangkutan.
c.       Pada tingkat kematangan bawahan yang lebih tinggi K2  yang diperlukan ialah perilaku pimpinan dengan orientasi tugas yang lebih tinggi dan tingkat hubungan yang intensif antara atasan dengan para bawahannya.
d.      Pada tingkat kematangan yang lebih tinggi lagi K3 masalah-masalah psikologis dapat timbul dan hanya dapat dipecahkan dengan menggunakan gaya kepemimpinan yang besifat mendukung tugas para bawahan dan dengan demikian berarti tidak terlalu banyak memberi pengarahan.
e.       Pada tingkat kematangan yang sudah tinggi  K4  seorang pimpinan tidak perlu lagi berbuat banyak karena para bawahannya sudah mampu dan rela memikul tanggung jawab sedemikian rupa sehingga tugas-tugas  yang dipercayakan kepada mereka terselenggara dengan tingkat efisiensi, efektivitas, dan produktifitas yang sesuai dengan harapan pimpinan yang bersangkut.
Persamaan itu terlihat sebagai berikut:


Kisi-kisi                                                                                    Gaya Kepemimpinan
manajerial                                                                                          Situasional




9.1                                                                                                  Memberitahukan
9.9                                                                                                     “ Menjual”


1.9                                                                                          Mengajak Berperan serta     


1.1.                                                                                                    Pendelegasian

4.Teori “ Jalan-Tujuan”
Sudah lama diterima sebagai suatu kenyataan bahwa dalam usaha akumulasi teori tentang kepemimpinan digunakan dua titik tolak. Dengan demikian dicapai dua saran dalam kehidupan organisasional, yaitu:
a.       Para praktisi dapat menyelenggarakan berbagai kegiatannya berdasarkan dalil-dalil ilmiah yang pada gilirannya membuahkan hasil kerja yang lebih memuaskan;
b.      Para akademis tidak berada dalam “menara gading” karena berbagai penelitian yang dilakukannya mempunyai kaitan langsung dengan “dunia kenyataan”.
Interaksi positif antara dua pihak yang berkepentingan tersebut mendukung percepatan usaha pengembangan teori yang hanya bermakna apabila diterapkan dalam kehidupan organisasional sehari-hari. Misalnya jika dewasa ini kepemimpinan situasional sedang mendapat perhatian besar dikalangan para praktisi manajemen, para peneliti dan ilmuwan yang mendalami masalah-masalah kepemimpinan sedang memberikan perhatian yang besar pula pada apa yang dikenal dengan teori “ jalan-tujuan”. Salah satu mekanisme yang dipandang efektif untuk mewujudkan keadaan seperti digambarkan dimuka ialah dengan memperhitungkan dua hal, yaitu: pertama, kejelasan tugas yang harus dilakukan dan kedua, perhatian pimpinan kepada kepentingan dan kebutuhan para bawahannya.
Bagan di bawah ini mencoba menggambarkan inti teori “jalan-tujuan” sebagai salah satu model kepemimpinan.










 





















Bagan yang sangat sederhana di atas menujukkan esensialia teori “jalan-tujuan” sebagai berikut:
a.       Menurut teori ini, seorang pimpinan yang efektif adalah seorang yang memperhitungkan dua hal dalam menjalankan kepemimpinannya, yaitu struktur tugas yang harus diselesaikan oleh para bawahan dan perhatian pada kepentingan dan kebutuhan para bawahan tersebut.
b.      Apabila seorang pimpinan menunjukkan melalui perilakunya bahwa ia memeprhatikan kepentingan dan kebutuhan para bawahannya, para bawahannya itu akan mengalami tingkat kepuasan yang semakin tinggi.
c.       Di pihak lain apabila melalui perilakunya pimpinan menunjukkan bahwa ia memperhitungkan struktur tugas para bawahannya disertai dengan pertimbangan tentang kemampuan para bawahan tersebut, para bawahan itu akan merasa bahwa dalam pelaksanaan tugas, mereka dibantu berkat adanya kejelasan peranan tugas-tugas organisasi sebagai keseluruhan yang pada gilirannya akan meningkatkan pula prestasi kerja mereka.
d.      Tingkat prestasi kerja dicapai oleh para bawahan itu ditentukan pula oleh berbagai karakteristik pribadi para bawahan tersebut seperti: persepsinya tentang kemampuan yang dimilikinya, dan sampai sejauh mana seseorang dapat mengendalikan faktor-faktor diluar dirinya tetapi dipandang berpengaruh terhadap tingkat kebebasannya untuk bertindak.
e.       Tingkat prestasi kerja dan tingkat kepuasan para bawahan ditentukan pula oleh persepsi para bawahan tersebut tentang kondisi lingkungan di tempat pekerjaan mereka masing-masing.
Dengan perkataan lain teori “jalan-tujuan” ini dalam praktek pada umumnya berarti bahwa:
a.       Perhatian pimpinan terhadap kepentingan dan kebutuhan para bawahan sangat menolong dalam situasi tugas yang terstruktur dan kurang menolong dalam situasi tugas yang tidak terstruktur.
b.      Pimpinan yang berprakarsa menyusun struktur tugas akan menjurus kepada tingkat kepuasan yang lebih tinggi apabila tugas yang hendak dilaksanakan tidak jelas atau mengandung tekanan kuat.
c.       Para bawahan merasakan bahwa prakarsa pimpinan menyusun struktur tugas tidak terlalu mendorong prestasi kerja dan kepuasan apabila situasi sangat terstruktur dan dipahami dengan jelas oleh para bawahan.
d.      Perhatian pimpinan terhadap kepentingan dan kebutuhan para bawahan menjadi penting apabila para bawahan itu terlibat dalam penyelesaian tugas-tugas yang sangat terstruktur, apabila bersifat rutin.
Dari pembahasan singkat di muka tentang teori ini dapat disimpulkan bahwa sebagai suatu kepemimpinan yang situasional, sumbangan penting dari teori ini ialah pemahaman dan kesadaran tentang pentingnya peningkatan kepuasan kerja dikalangan para bawahan dengan dua jenis perilaku pimpinan, yaitu:
a.       Membantu menjelaskan arah yang seyogyanya ditempuh oleh para bawahan dengan penyusunan struktur tugas yang sejelas mungkin,
b.      Memberikan perhatian besar kepada kepentingan dan kebutuhan para bawahan jika struktur tugas telah jelas, dipahami oleh para bawahan dan mempunyai keyakinan bahwa mereka memiliki kompetensi dan keterampilan untuk menyelesaikannya.

5.Model “ Pimpinan-Peran Serta Bawahan”
Banyak ilmuwan yang berminat mendalami berbagai model kepemimpinan yang diperhitungkan dapat menambah kekayaan ilmiah dalam rangka akumulasi teori tentang kepemimpinan yang efektif. Salah satu model yang dianalisis dan dikembangkan adalah model yang dikenal dengan model “ pimpinan-peran serta bawahan”.
Perhatian model ini ialah perilaku pimpinan dikaitkan dengan proses pengambilan keputusan. Konsep-konsep yang terdapat dalam teori ini digambarkan dalam apa yang dikenal dengan “pohon keputusan” yang mengandung tujuh keadaan dan lima alternatif gaya kepemimpinan. Salah satu bentuk dari “pohon keputusan” itu digambarkan sebagai berikut:
Tujuh Variabel Keadaan
A
B
C
D
E
F
G




Ya 
















TidakTidak
TidakYaYa
TidakYaYaTidakYaTidak
Kel IIYaYaTidakYaTidakTidak1TidakYa1
TidakYaKel IIIYaKel II1
Kel IIKel IITidakYaKel IIKel IKel I



BAB VII
ANALISIS KEPEMIMPINAN
BERDASARKAN TEORI PENERIMAAAN

Tugas terpenting dari seorang pemimpin adalah memimpin organisasi. Demikian elementernya pernyataan tersebut sehingga mungkin ada yang mengatakan bahwa itu sudah dengan sendirinya sehingga tidak perlu dikemukakan lagi. Akan tetapi penekanan kembali prinsip yang sangat mendasar tersebut dipandang relevan dengan dua pertimbangan utama.

Pertama yaitu demikan elementernya pandangan tersebut sehingga tidak mustahil ia dilupakan. Para ilmuwan mungkin melupakan hal itu karena disibukkan dengan usaha mengembangkan teori kepemimpinan dengan berbagai modelnya dengan menyoroti segi-segi tertentu seperti bakat, ciri-ciri, sistem nilai yang dianut, sikap, perilaku, gaya, dan sebagainya.

Kedua dalam praktek efektivitas kepemimpinan seseorang terlihat dari tingkat “kepengikutan” yang dapat ditumbuhkan dan dipeliharanya. Artinya, seseorang hanya menjadi pemimpin dalam kenyataan apabila kepemimpinannya itu diakui dan diterima oleh sekelompok orang yang menjadi “pengikutnya”.

A.Manusia Sebagai Makhluk Politik
Tidak dapat disangkal bahwa manusia adalah makhluk politik. Dalam berbagai literatur tentang kepentingan dan kebutuhan manusia dikemukakan bahwa pada umumnya manusia ingin memiliki kekuasaan dan pengaruh. Karena manusia merupakan makhluk politik, jelas ia mempunyai kepentingan di bidang politik. Kepentingan tersebut pada umumnya tercermin dari keinginannya untuk turut serta atau diikutsertakan dalam menentukan “nasibnya”.

Kemampuan tokoh-tokoh politik untuk mengartikulasikan pandangan organisasi politik hanya memikat para warga masyarakat agar menjadi anggota organisasi politik yang bersangkutan yang berarti mempunyai kemampuan untuk memilih jalur dan saluran politik yang akan digunakannya untuk memenuhi kepentingan politiknya.

Merupakan kenyataan bahwa aspirasi politik seseorang tidak akan tersalurkan secara efektif apabila seseorang berusaha memperjuangkan sendiri. Berarti timbul kebutuhan untuk memasuki organisasi politik tertentu yang:
1.      Pandangan politiknya sama atau paling sedikit sejajar dengan pandangan politik atau orang yang bersangkutan,
2.      Menurut persepsinya, dipimpin oleh tokoh-tokoh politik yang mampu mengartikulasikan pandangan tersebut secara meyakinkan melalui proses sosialisai yang mantap,
3.      Pemimpinnya menunjukkan kemampuan dan kemauan untuk menyalurkan aspirasi politik para anggotanya secara efektif dalam berbagai forum politik.

Pengamatan terhadap kehidupan politik menunjukkan bahwa menganut pandangan politik tertentu bukanlah hal yang bersifat “permanen” karena ternyata seseorang mungkin saja berubah pandangann politiknya.
Pengertian politik tidak hanya dalam konteks kenegaraan seperti dibahas di atas, melainkan juga dalam konteks organisasional secara mikro. Dalam kehidupan organisasional seseorang, wajar dan normal apabila ia berkeinginan agar semakin banyak faktor yang mempengaruhi perjalanan hidupnya yang dapat dikendalikan . para ilmuwan menyebutkan hal tersebut sebagai “locus of control”.

B. Manusia Sebagai Makhluk Ekonomi
Tidak dapat disangkal bahwa manusia adalah makhluk ekonomi. Artinya ia mempunyai beraneka ragan kebutuhan yang bersifat kebendaan yang ingin dipaskannya, pemenuhan kebutuhan yang bersifat kebendaan itu bukan hal mudah karena memiliki banyak alasan dan pertimbangan, seperti :
1.      Kemampuan fisik dan intelektual yang terbatas
2.      Persaingan yang ketat antara banyak orang yang menginginkan hal yang sama atau serupa
3.      Terbatasnya kesempatan untuk memuaskannya
4.      Terbatasnya ketersediaan barang atau jasa yang dapat digunakan

Rumitnya usaha pemuasan kebutuhan yang bersifat kebendaan itu tampak lebih jelas lagi dalam kenyataan bahwa pada umumnya dalam diri manusia terdapat keinginan besar untuk menignkatkan tarif hidupnya. Dalam dunia modern seperti sekarang ini kebutuhan ekonomi tersebut tidak mungkin lagi dapat dipuaskan oleh seseorang tanpa menggunakan berbagai jalur operasional, salah satu caranya ialah dengan bekerja dalam organisasional tertentu melalui hal yang dapat memenuhi kebutuhan ekonomi tersebut.

Tiga kelompok faktor utama menentukan perilaku seseorang dalam kehidupan organisasional :
1.      Faktor genetika, seperti usia, jenis kelamin, bakat dan tingkat kecerdasan
2.      Suasana kerja dalam organisasi seperti : tersedianya fasilitas kerja, tingkat upah dan gaji, hubungan dengan orang lain dalam organisasi
3.      Suasana lingkungan ekstrim yang berpengaruh pada jalannya roda organisasi yang bersangkutan

Implikasi bagi seorang karyawan ialah mendalami faktor-faktor genetika para bawahan yang kemudian tercermin pda perilaku, sikap dan tindak tanduknya merupakan hal yag penting karena dengan demikian ia dapat menumbuhkan gaya kepemimpinan yang kreatif.

Suasana kerja. Efektifitas kepemimpinan seseorang dapat pula ditingkatkan dengan pemahaman yang mendalam tentang korelasi antara suasana kerja dalam organisasi dengan produktifitas kalangan para bawahannya. Kiranya tidak akan meleset apabila dikatakan bahwa fasilitas kerja yang memadai akan mendorong tumbuhnya gairah kerja sedemikian rupa sehingga produktifitas kerja para anggota organisasi meningkat. Sebaliknya sukar membayangkan orang bergairah bekerja keras tanpa tersedianya sarana dan prasarana yang memadai. Memadai dalam arti kata sesuai dengan bentuk, jenis dan sifat tugas yang harus diselesaikan. Sifat pekerjaan seseorang memiliki korelasi dengan produktifitas, tingkat kemangkiran, kepuasan dan keinginan pindah pekerjaan. Penelitian membuktikan bahwa jika seseorang merasa tugasnya bersfat rutin dan mekanistik semata mata, tingkat produktiviasnya rendah dan juga sebaliknya.

C.Manusia Sebagai Makhluk Sosial
Secara naluri manusia adalah makhluk sosial. Telah terbukti sejak zamam permulaaan eksistensinya manusia menyenangi kehidupan berkelomok. Ternyata semakin tinggi tingkat kemajuan yang dicapai oleh manusia, semakin besar pula kebutuhan untuk membentuk bebagai kelompok. Kesemuanya itu dimasudkan untuk digunakan sebagai saluran dan jalur untuk memuaskan berbagai kepentingan dan kebutuhannya yang semakin beranekaragam yang tidak mungkin lagi dipuaskanya tanpa menggunakan jalur organisasional.

Pada mulanya alasan yang sangat mendasar bagi seorang untuk memasuki suatu atau berbagai oeganisasi tertetu ialah karena ada tujuan, cita cita, harapan, kepentingan dan keinginan dan kebutuhan pribadi yang ingin dicapai, dipenuhi dan dipuaskan. Agar interaksi yang kemudian berlangsung seacara harmonis dan tidak menimbulkan situasi konflik yang serius, semua orang harus bersikap, berprilaku dan bertindak sedemikian rupa sehingga ditemukan kesamaan kepentingan yang pada gilirannya akan menumbuhkan kesatuan tindakan.

Keadaan demikian akan tercipta apabila setiap orang bersedia membawakan kepentingan  pribadinya kepada kepentingan yang lebih besar dan lebih penting, yaitu kepentingan kelompok yang pada akhirnya kepentingan organisasi.

Teori yang  dikembangkan oleh Maslow dapat dilihat dari kategori kebutuhan manusia yang disebutnya ‘Hirarki” kebutuhan yaitu :
a.       Kebutuhan fisiologis, sperti kebutuhan sandang, pangan dan papan
b.      Kebutuhan akan keamanan, baik keamanan fisik, harta maupun jiwa.
c.       Kebutuhan akan kasih  sayang
d.      Kebutuhan prestise yng biasanya tercermin dalam pengakuan atas status seseorang dengan bereaneka ragam simbolnya
e.       Kebutuhan untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam diri seseorang

Semua orang yang berusaha mendalami teori motivasi mengakui sumbangan penting yang diberikan oleh Maslow dalam akumulasi teori dan pengetahuan tentang perilaku manusia dalam berorganisasi. Kritik yang sering ditujukan kepada teori Maslow bukan terhadap kategorisasi kebutuhan yang digunakannya. Kategorisasi itu pada umumnya dapat diterima. Yang sering dikritik adalah “hirarki” dalam kategorisasi tersebut.

Kenyataan menunjukan tidak demikian halnya. Seseorang, dengan menyadari keterbatasan kemampuannya, tetap akan berusaha memuaskan semua jenis kebutuhan itu secara simultan. Dari analisis sederhana di muka, kiranya terlihat bahwa kategori kebutuhan manusia tidak tepat kalau dilihat sebagai sejumlah “anak tangga” yang harus dilalui satu per satu melainkan sebagai suatu rangkaian kebutuhan yang pemuasannya dilakukan secara simultan.

Pandangan demikianlah yang tampak dalam teori pemuasan kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial dan agar memperoleh haknya dalam berorganisasi , para anggota organisasi harus mampu menunaikan kewajibannya kepada organisasi dengan memuaskan
D. Manusia Sebagai Individu
            Berbagai cabang ilmu sosial memberi petunjuk bahwa manusia, disamping sebagai insan politik, insan ekonomi dan insan sosial, juga tetap merupakan individu dengan jati diri yang khas. Prinsip tersebut berarti antara lain bahwa untuk dapat memperlakukan seseorang secara tepat, perlu pemahaman tentang apa yang disebut dengan variable bebas yang membuat seseorang itu sebagai insan dengan karakteristik yang khas sifatnya.
Para ahli ilmu jiwa mengajarkan bahwa terdapat empat jenis variable bebas yang perlu mendapat perhatian, yaitu karakteristik biografikal, kepribadian, nilai dan sikap, kemampuan.

1.   Karakteristik biografikal.
Yang dimaksud dengan karakteristik biografikal seseorang adalah umur, jenis kelamin, status perkawinan, jumlah tanggungan dan lamanya menjadi anggota  suatu organisasi. Faktor-faktor tersebut penting diketahui dan didalami karena ada kaitannya dengan kecenderungan-kecenderungan dalam perilaku dan tindak-tanduk orang yang bersangkutan dalam kehidupan organisasionalnya. Dikatakan kecenderungan karena di kalangan ilmuwan tidak selalu terdapat kesepakatan bulat tentang adanya kaitan-kaitan tersebut, dan kalau ada, dalam bentuk apa dan dengan tingkat intensitas yang bagaimana.

Suatu perkawinan seseorang merupakan contoh nyata. Meskipun belum ditemukan korelasi antara status perkawinan seseorang dengan produktivitas kerjanya, tetapi terlihat kaitan antara status perkawinan seseorang dengan tingkat kemangkiran, terutama dikalangan wanita, Artinya dengan berbagai alasan yang mudah dipahami, tingkat kemangkiran seorang wanita yang sudah menikah, apalagi kalau sudah mempunyai anak, cenderung lebih tinggi dibandingkan seorang wanita pekerja yang belum menikah.

Berbeda halanya dengan pekerja pria. Pria yang sudah menikah cenderung lebih rajin dari pria yang belum menikah. Mungkin karena rasa tanggung jawab yang besar kepada keluarganya dan karena takut kehilangan sumber penghasilan jika sering mangkir, seorang pria yang sudah menikah menunjukkan kecenderungan tingkat kemangkiran yang rendah. Mungkin pula benar bahwa perilkau seperti itu tidak semata-mata didasarkan kepada rasa tanggung jawab yang besar terhadap keluarganya, akan tetapi mungkin pula didasarkan juga atas rasa harga dirinya.

Kalau jumlah tanggungan seseorang digunakan sebagai variable bebas dan dikaitkan dengan produktivitas, tingkat kemangkiran, kepuasan kerja dan kemungkinan pindah pekerjaan, terlihat beberapa hal yang menarik. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa seseorang yang jumlah tanggungannya besar tidak dengan sendirinya menunjukkan produktivitas yang tinggi. Tetapi tingkat kepuasan pun biasanya tinggi yang disertai oleh keinginan pindah pekerjaan yang rendah.

Lamanya seseorang bekerja pada satu organisasi juga mempunyai korelasi dengan keempat faktor yang telah diidentifikasikan diatas tersebut. Dalam situasi citeris paribus  menarik untuk memperhatikan bahwa seseorang yang sudah lama bekerja pada suatu organisasi tidak identik dengan produktivitas yang tinggi. Orang yang masa kerjanya lama tidak berarti bahwa yang bersangkutan memiliki tingkat kemangkiran yang rendah. Daya tarik untuk pindah pekerjaanpun biasanya rendah pula.
Pembahsan diatas dimaksudkan untuk menunjukkan betapa pentingnya seorang pimpinan mendalami sejauh mungkin karakteristik biografikal para bawahannya karena dengan demikian ia akan semakin mengenal bawahannya tersebut secara individual.

2.   Kepribadian
Di samping mengenali karakteristik biografikal para bawahan, berusaha mendalami kepribadian para bawahan juga ternyata merupakan hal yang sangat penting. Tidak mudah memberikan definisi yang sederhana tentang kepribadian. Hal-hal seperti daya pikat, pandangan positif terhadap hidup, murah senyum dan karakteristik lain seperti itu ternyata bukanlah yang dimaksud dengan kepribadian seseorang meskipun karakteristik itu bersifat positif. Kepribadian merupakan suatu konsep yang dinamik yang berusaha menjelaskan pertumbuhan dan perkembangan keseluruhan sistem psikologis seseorang. Jika demikian halnya definisi kepribadian adalah “organisasi yang dinamik dari keseluruhan sistem psikofisikal yang terdapat dalam diri seseorang yang menentukan kekhasan sifatnya dalam melakukan penyesuaian terhadap lingkungannya”. Dinyatakan secara sederhana, kepribadian adalah keseluruhan cara yang digunakan oleh seseorang dalam bereaksi terhadap dan berinteraksi dengan orang lain.

Karakteristik yang bersifat keturunan yang dibawa sejak lahir adalah penampilan fisik, bentuk wajah, jenis kelamin, komposisi otot, tingkat stamina, dan ritme biologis seseorang. Pada umumnya karakteristik yang dibawa sejak lahir itu tidak dapat diubah.kata kunci dalam definisi tentang kepribadian ialah penyesuaian, istilah tersebut menjadi sangat penting karena kenyataan hidup menunjukkan bahwa kemampuan dan keharusan manusia melakukan berbagai bentuk penyesuaian dalam menghadapi situasi tertentu turut berpengaruh terhadap kepribadiannya. Karena itulah sering dikatakan bahwa tidak ada seorangpun yang bernar-benar konsisten dalam beraksi dan berinteraksi dengan orang lain.

Seorang pimpinan perlu memahami berbagai sifat tersebut yang akan sangat bermanfaat dalam memperlakukan bawahannya. Relevansi langsung pemahaman demikian adalah dengan penempatan para bawahan yang tepat merupakan akibat penggabungan yang benar dari bakat, kemampuan dan kepribadian.

3. Nilai-nilai yang dianut
Yang dimaksud dengan nilai-nilai ialah keyakinan dasar yang dianut oleh seseorang. Perwujudannya antara lain ialah dalam tindak- tanduk seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain yang berpedoman kepada apa yang dipandangnya benar atau salah, baik atau tidak baik, wajib dilakukan atau harus dielakkan.
Sistem nilai yang dianut oleh seseorang biasanya bersumber dari apa yang dilihat, diamati dan diperolehnya dari berbagai sumber , seperti orang tua, teman, guru, dan mungkin pula anggota masyarakat lainnya.

Dewasa ini dikenal enam tipe nilai, yaitu:
a.       Nilai yang sifatnya ilmiah, yaitu system nilai yang mementingkan penemuan kebenaran melalui cara berpikir yang kritis dan rasional.
b.      Nilai ekonomi yang memberikan penekanan pada hal-hal yang bermanfaat dan praktikal.
c.       Nilai keindahan yang menempatkan harmoni pada posisi yang tinggi.
d.      Nilai kebersamaan yang mendahulukan kecintaan kepada sesame.
e.       Nilai politik yang mendahulukan usaha memperoleh kekuasaan dan pengaruh.
f.       Nilai keagamaan yang ditujukan kepada keagungan Tuhan Yang Maha Esa yang menciptakan dan mengatur segala sesuatu yang terdapat dalam kosmos ini.

4.   Kemampuan
Rumus yang sangat sederhana yang biasa digunakan dalam mengukur prestasi kerja seseorang ialah prestasi kerja= kemampuan x motivasi. Tersirat dalam rumus sederhana tersebut ialah kenyataan bahwa faktor-faktor fisik, kepribadian dan system nilai seseorang membuatnya menjadi individu dengan jati diri yang khas, dalam rumus itu juga tersirat bahwa setiap orang mempunyai kelebihan disamping kekurangan, memiliki kekuatan tertentu disamping kelemahan. Pimpinan harus menerima hal ini sebagai kenyataan.

Pentingnya pengetahuan tentang kemampuan intelektual dan kemampuan fisik apa yang diperlukan untuk melakukan tugas yang berkaitan langsung dengan pencocokan kemampuan dengan jabatan yang seyogyanya dipangku atau penugasan yang sebagaimana diberikan. Kecocokan kemampuan dengan sifat pekerjaan akan berpengaruh positif dalam peningkatan prestasi kerja seseorang.

F.Implementasi Bagi Pimpin
Efektifitas kepemimpinan seseorang sangat bergantung pada akseptabilitas dan kapabilitasnya. Analisis kepemimpinan berdasarkan teori penerimaan membenarkan pendapat demikian. Dengan pembahsan yang telah dilakukan dimuka. Kedua istilah akseptabilitas dan kapabilitas digunakan untuk melihat dan memahami implikasinya dalam menentukan sikap, memilih sitem nilai dan gaya kepemimpinan bagi seorang pimpinan.

Tingkat penerimaan bawahan dan pengakuan bagi kepemimpinan seseorang akan semakin tinggi apabilla kepemimpinan tersebut :
1.      Memiliki daya pikat karena pengetahuan, keterampilan, sikap dan tindak tanduknya.
2.      Tergolong sebagai pemimpin yang pada dasarnya demokratik tetapi sekaligus mampu melakukan penyesuaian tertentu tergantung pada situasi yang diharapkan.
3.      Menyadari benar makna dan hakikat keberadaannya dalam organisasi yang tercermin pada kemampuannya menyelenggarakan berbagai fungsi kepemimpinan yang harus dijalankan.
4.      Dalam hubungan atasan dan bawahan menseimbangkan struktur tugas yang harus dilakukan oleh bawahannya dengan perhatian yang wajar pada kepentingan dan kebutuhan para bawahan tersebut.
5.      Menerima kenyataan bahwa setiap bawahan seperti juga diri sendiri  mempunyai jati diri yang khas dengan kelebihan dan kekurangannya serta kekuatan dan kelemahannya..
6.      Mampu menggabungkan bakat, pengetahuan teoritikal dan kesempatan memimpin dengan terus berusaha memiliki sebanyak mungkin cirri-ciri kepemimpinan yang ideal.
7.      Dengan tetap menggunakan paradigma yang holistic dan intergralistik, mampu  menentukan skala prioritas organisasi sesuai dengan sifat, bentuk dan jenis tujuan dan berbagai sasaran yang ingin dicapai.
8.      Memperhitungkan situasi lingkungan yg berpengaruh, baik secara positif maupun secara negatif  terhadap organisasi.
9.      Memanfaatkan perkembangan yang terjadi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dengan tetap berorientasi manusia sebagai unsur terpenting dalam organisasi.
10.  Menempatkan kepentingan organisasi diatas kepentingan diri sendiri seperti tercermin dalam satunya ucapan dan perbuatan.

Kesemuanya itu berarti bahwa tidak ada kunci ajaib yang dapat digunakan dalam menjamin keberhasilan seseorang menjalankan kepemimpinanya. Akan tetapi titik tolak yang paling tepat  adalah menghargai dan menjunjung tinggi harkat dan martabat para bawahannya.









DAFTAR PUSTAKA

Fredi Rangkuti. 2003. Analisis SWOT Untuk Membedah Bisnis. Jakarta: Gramedia Pustaka Uitama
Hasan Iqbal. 2002. Teori Pengambilan Keputusan. Jakarta: Ghalia Indonesia
Hasibuan. 2011. Manajemen Sumber Daya Manusia
 Siagian, Sondang. 2010. Teori dan Praktek Kepemimpinan. Jakarta: PT. Asdi   Mahasatya